Jumat, November 23, 2007

Taman Tempat Memendam Rindu

SETIAP kali ada pergeseran musim, terutama dari musim kemarau ke
musim hujan, mendadak sontak ada kegembiraan yang muncul. Setiap mata
yang dibekali kejernihan, setiap telinga bersahabat dengan kepekaan, setiap rasa yang sering bersahabat dengan getaran-getaran semesta, melihat munculnya kegembiraan ketika musim hujan datang.
Kegembiraan ini memang tidak disertai oleh tepuk tangan, tidak
diikuti suara musik, apalagi pemberian piala. Sekali lagi, hampir tidak ada hiruk pikuk di sana. Yang ada hanyalah ungkapan kegembiraan sebagai cermin rasa syukur yang mendalam.
Perhatikan pohon apa saja. Lengkap dengan akar, batang, daun, bunga sampai dengan buah. Wajahnya berbeda ketika musim hujan datang.
Bahkan dibandingkan dengan pohon yang disiram tangan manusia tiga
kali sehari pun, berbeda penampakannya.
Tidak saja daun dan bunganya yang bertambah banyak, melainkan
kualitas ekspresi daun dan bunganya juga berbeda. Tidak saja akar yang memeluk tanah yang tampak gembira, bahkan tanah tempat banyak sekali hal berasal juga seperti menampakkan wajah-wajah gembira. Sehingga dalam totalitas, ketika musim hujan tiba, seperti ada yang bersuara di taman sana.
Ada yang menyebutnya suara rindu, ada yang mengiranya sebagai
ungkapan rasa syukur, ada yang mengatakan kalau itu sebentuk perayaan.
Entahlah, yang jelas alam yang berumur jauh lebih panjang dari manusia sebenarnya menghadirkan makna jauh lebih banyak dari sekadar alasan keberadaan fisik manusia.
Memang benar, hampir semua input kehidupan manusia datang dari alam. Makanan, minuman, dan bahkan pemikiran manusia pun sebagian berasal atau terinspirasi dari alam. Disinari cahaya-cahaya pemahaman seperti ini, ada sahabat yang berbisik: alam ada lebih dari sekadar alasan phisical survival. Alam juga menjadi petunjuk jalan yang meyakinan ketika manusia hendak pulang.
Tersentak oleh bisikan sahabat kejernihan terakhir, ada sepasang mata yang mencermati, bagian mana dari alam yang bisa menjadi petunjuk
jalan manusia untuk pulang.
Pohonkah, batukah, tanahkah, langitkah, matahari, atau malah
binatang. Karena semuanya memiliki bahasa yang berbeda dengan manusia, tentu saja semuanya tidak bisa memberi jawaban dalam bahasa manusia.
Sebagian lebih dari jejaring semesta bahkan hanya mengenal bahasa hening dan diam tanpa penghakiman. Seperti mau berbisik: hening dan diam tanpa penghakiman itulah jalan-jalan penghantar manusia untuk pulang.

Ikhlas
Sebutlah guru kejernihan yang bernama pohon. Ia tidak pernah berhenti berjalan dengan sebuah bahasa: ikhlas! Hujan datang, musim kering yang panas, tanah yang subur, tanah yang kerontang, bahkan di depan manusia yang mau menghabisi, atau bahkan di depan kematian pun
modalnya sama: ikhlas!
Bunga juga serupa. Begitu tugasnya menebar bau wangi selesai, ia layu kemudian jatuh ke tanah untuk melakukan tugas berikutnya sebagai pupuk.
Air apalagi. Sejauh apa pun jalan yang harus ia tempuh, tugasnya sebagai pejalan kehidupan tetap ia lakukan sepenuh hati. Terlebih tanah yang kerap disebut Ibu Pertiwi. Ia hanya mengenal sebuah bahasa: memberi. Tidak ada protes tentang hasil di sana, wacana, apalagi perlawanan. Yang ada hanyalah ketekunan melakukan semua tugas-tugas kehidupan. Sekali lagi seperti mau berbisik, lakukan tugas-tugas kehidupan dengan tekun. Biarkan hasilnya ditentukan sepenuhnya oleh yang punya hidup.

Taman Kehidupan
Ini soal taman di pekarangan rumah, sebenarnya ada taman yang lebih besar dan megah: kehidupan. Serupa dengan taman sebenarnya, kehidupan juga mengenal perubahan dan perayaan. Perubahannya tidak perlu diceritakan karena sudah terlalu jelas.
Namun perayaannya, inilah bedanya dengan taman. Taman melakukan
perayaan hampir setiap hari di setiap perubahan. Taman kehidupan manusia baru ada perayaan kalau perubahan 'sesuai' dengan kriteria-
kriteria di kepala.
Taman tidak mengenal kompetisi, baik untuk alasan pertumbuhan ataupun alasan lain. Tidak ada satu pun batang pohon yang sikut menyikut di taman. Sedangkan taman kehidupan memerlukan kompetisi. Terutama karena alasan pertumbuhan. Seolah-olah tanpa kompetisi pasti tidak ada pertumbuhan.
Belajar dari taman kehidupan yang sudah mulai demikian panas dan
sumpeknya oleh perang, konflik, permusuhan, dan perceraian. Ada sahabat-sahabat di pojokan tertentu taman kehidupan berfikir lain: in
the garden of mystics, there is no I, she or he. There is only we and
us. Seeing our selves as islands is the cause of our inability to
find the fullest experience of life. Setidaknya itu yang ditulis
Wayne W. Dyer dalam Wisdom of The Ages.
Di taman kehidupan, memang tidak ada pulau. Yang ada hanyalah
jejaring kebersatuan yang saling kait-mengait. Siapa saja yang mendirikan pulau 'saya' di sana, ia pasti mengalami kesulitan untuk
mengalami hidup yang penuh. Persis seperti setetes air. Setetes air
memang bisa melakukan hal yang teramat sedikit. Jangankan menghanyutkan sesuatu, mengobati rasa haus pun jauh dari cukup. Cuma, ketika setetes air tadi bersatu dengan samudera, ia memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Hal yang sama terjadi dalam setiap kehidupan yang menjadi satu dengan kebersatuan. Ia sedahsyat samudera! Dalam keadaan demikian, bisa dimaklumi kalau ada yang menyebut taman kehidupan dengan sebutan taman tempat memendam rindu. Rindunya setetes air bersatu dengan samudera.

Disarikan dari tulisan Gede Prama

Waktu

Gunakan Waktu Luangmu sebelum datang Waktu Sempitmu
Gunakan Waktu Sehatmu sebelum datang Waktu Sakitmu
Gunakan Waktu Mudamu sebelum datang Waktu Tuamu
Gunakan Waktu Hidupmu sebelum datang Waktu Matimu


Waktu, kata yang sangat familiar ditelinga kita. Sesuatu yang sangat penting bagiku sekarang. Tetapi aku terlalu sering menyianyiakanya. Mungkin banyak hal bisa kita beli didunia ini. Tapi hal ini tak berlaku buatnya, walau sedetikpun. Meskipun aku tahu hal tersebut, tetapi apa yang kuperbuat? Aku terus menyianyiakanya lagi. Entah dengan perguncingan bahkan fitnah, menonton film-film unyil, nongkrong dipinggir jalan sambil suit-suit cewek yang lewat, minum-minuman beralkohol, dan banyak hal negatif lain.
Mulai sekarang, cara pandangku harus kuubah ketika melihatnya. Begitu sering aku menyianyiakan bahkan membuangnya. Kadang dengan tidak sadar, dan seringkali dengan kesadaran penuh. Aku tahu aku salah. Dan semua berulang begitu saja. Banyak hal-hal menarik dan nikmat yang membuaku menyianyiakannya. Alasan klise itu yang selalu terlontar ke pedalamanku jika “dia” berontak.
Aku harus berubah, dan perubahan itu harus sekarang juga. Aku berjanji tak akan menyianyiakanmu lagi, apalagi membuangmu. Akan kuisi penuh “kau”. Intensifikasi umur, istilah sang maestro, Dahlan Iskan. Aku terlalu banyak berhutang kepada “mu”. Dan aku yakin aku mampu melakukanya. Aku yakin.
Terima kasih Tuhan, yang masih memberikan “kau” kepadaku. Aku harus bersyukur kepada Tuhan dengan mengisimu sebaik-baiknya, semanfaat-manfaatnya, sekuat tenagaku. Aku janji kepadamu Tuhan. Janji seorang hamba yang mulai mencarimu dari sekarang.

Wanita

Seringkali sebagai cowok aku sulit memahami mereka. Banyak sekali hal-hal yang mereka perlihatkan sebagai sinyal untuk menyampaikan suatu hal saja. Dan sering kali aku salah menafsirkannya. Begitu bermacamnya sampai-sampai sering kali aku jengkel. Itu membuat aku jadi makin bingung dengan sinyal-sinyal tersebut.
Sekarang aku sedang pdkt dengan seseorang. Dia masih kuliah. Aku bingung harus berbuat gimana teman. Dia sekarang sudah punya pacar. Dan pacarnya kelihatanya sih “better than me”. Aku pernah mengalami jatuh cinta sekuat ini sebelumnya. Dan sangat susah untuk menghilangkannya.
Tetapi, ini yang mungkin bisa menjadi kontroversi. Pedalamku mengatakan bahwa aku harus terus memperjuankanya. Tetapi dia sudah “milik” orang lain. Dan salahkah aku pdkt kepada pacar orang lain?
Aku takut sekali kehilangannya. Itu membuatku serba salah menghadapinya. Ketika berbuat apapun terhadapnya aku harus berfikir berkali-kali. Bagaimana akibatnya entar terhadapnya. Atau jangan-jangan itu membuat dia marah.
Aku berkonsultasi kepada beberapa teman. Ada empat versi pendapat dari mereka. Yang pertama. Cari aja cewek lain. Emang cewek cuma dia doang, masih banyak boo!! Sekarang ini cewek lebih banyak dari cowok. Nyantai aja. Pokoknya cari aja yang lain. Yang kedua. Sekarang nggak usah mikirin cewek dulu. Udah mikirin nyari duit aja. Kalo kehidupanmu udah “bagus dan mapan”, cewek bakal datang sendiri kok. Pikirin nyari duit. Yang ketiga. Maju terus!! Jika kamu yakin dengan dia, pdkt terus. Dia akan menilai keseriusanmu kok. Dan dia akan berfikir. Apalagi dia baru pacaran, belum nikah kan?? Maju terus ya, kamu pasti bisa kok!! Yang keempat. Pacaran itu dilarang. Tidak ada dalam islam istilah tersebut. Jadi setelah pengenalan, kalau cocok langsung nikah. Begitu. Jadi nggak usah main pacaran-pacaran gitu!! Itu bisa menimbulkan dosa tau!! Jadi jangan pacaran-pacaran nggak jelas gitu dech!!
Mungkin teman-teman bisa ngasih usulan, pencerahan, “tips and trik” atau apa saja berkaitan dengan “masalah” ku ini. Kalau bisa sih para kaum hawa, karena aku udah banyak konsultasi ke kaum adam. Tapi kaum adam pun nggak papa kok. Thanks ya sebelumnya!!

Menulis

Menulis

Aku tak tahu apakah aku bisa menulis dengan baik. Tapi yang aku tahu, hidupku akan susah tanpa menulis. Itu mulai aku rasakan setelah kelar kuliah. Aku sering menemukan jiwaku dengan menulis. Aku hanya ingin menulis. Entah enak dibaca atau tidak. Aku tak tahu. Tapi aku akan terus belajar untuk memperbaiki tulisanku.
Seringkali tulisanku berhenti ditengah jalan. Aku terlalu lemah menghadapi “kerikil” kesulitan. Aku seringkali mengalami kebuntuan waktu menulis. Tapi aku akan terus melaju dan melaju. Aku lihat sinar putih di lorong kegelapan tulisanku.
Juga, seringkali tulisanku tak berdaya melawan egoku. Banyak sekali tulisanku yang sesuai dengan pedalamanku, tapi tak sesuai dengan kelakuanku, yang bejat dan bangsat. Didalamnya timbul pertentangan, kegelisahan dan bahkan dendam. Dan itu menjadikan energi menulisku mengalir kembali.
Mungkin aku seorang pendendam. Pendendam terhadap segala hal. Terutama dendam terhadap segala “pelecehan hidup” yang sering aku dapatkan. Dan aku harus menyalurkan energi dendam itu dengan positif. Salah satunya dengan menulis.
Banyak orang bilang, menulis itu gampang. Menulis itu pekerjaan sepele, pekerjaan orang yang nganggur. Tapi aku berbeda dengan untuk hal ini dengan mereka. Menulis itu pekerjaan berat, nggetih dan menguras energi. Menulis itu butuh komitmen. Dan itu yang belum aku punyai.
Aku harus belajar berkomitmen dari sekarang. Aku tak boleh lagi menghindar dari segala komitmen yang ada didalamnya. Banyak hal-hal didunia yang melenakan. Aku tahu, komitmenlah yang membuat orang-orang besar berhasil. Karena komitmen itu akan menimbulkan konsistensi, dan konsistensi itulah yang membuat keajaiban-keajaiban terjadi.
Aku harus terus menulis dan menulis. Tanpa menunggu “mood dan ide” datang. Aku yakin ide akan datang seiring dengan perkembangan tulisanku. Selain itu untuk memperkaya “mood dan ide” aku harus terus membaca dan belajar.

Senin, November 19, 2007

Meretas Asa Di Tapak Bima(1)


Ceceran keringat...

Pendakian ini sebenarnya sudah aku rencanakan sejak lama. Pendakian masal ke Gunung Tapak Bima. Aku ingin mengenalkan sosok gunung ini pada para penggiat alam bebas. Selain untuk pelestarian hutan, siapa tahu jika gunung ini terkenal, penduduk sekitarnyapun akan mendapat imbas positifnya. Terutama imbas ekonomi. Peningkatan tingkat ekonominya. Meskipun untuk seramai gunung Lawu akan sangat sulit. Gunung Tapak Bima berada sekitar tigapuluh kilometer dari Madiun dan duapuluh kilometer dari Ponorogo. Kearah tenggara untuk Madiun dan Timur Laut untuk Ponorogo. Gunung ini berada di gugusan pegunungan Wilis bagian Barat. Merupakan puncak tertinggi di gugusan barat tersebut sekitar 2000 meter. Kalau di gugusan timur, puncak tertingginya gunung Liman sekitar 2500an meter. Tapak Bima bisa dilalui dari dua jalur, Jalur Mendak atau Pesanggrahan di Madiun dan Jalur Ngebel di Ponorogo. Aku sebut sama antara jalur pesanggrahan dan mendak karena jalur pesanggrahan yang lebih jauh akan melewati jalur mendak juga. Makanya sekarang jalur pesanggrahan jarang dilewati. Rata-rata para pendaki langsung motong di jalur di mendak yang lebih atas. Lumayan sekitar satu jam perjalanan. Diantara kedua rute tersebut, rute paling nyaman/mudah adalah rute Telaga Ngebel Ponorogo.
Hari yang kami rencanakan sebenarnya adalah hari rabu, H+5 lebaran. Tapi berhubung terlalu mepet, diundur hari kamisnya. Kamis pagi naik, jumat pagi turun. Jumatan di desa Mendak. Selesai jumatan langsung pulang.
Seminggu sebelum lebaran, ada wacana baru, anak-anak mau naik hari sabtu, H+7 lebaran. Katanya beberapa anak dari Ponorogo dan Dolopo (golongannya Lina, baca: Lintas Bumi Mojopahit) akan ikut juga. Tapi mereka nggak memberi kepastian pada kami. Setelah berdebat sengit, kami tidak menemukan kata kata sepakat. Aku udah rencanakan jauh-jauh hari untuk mendaki hari kamis. Terpaksa aku akan naik berdua saja. Dengan temanku yang lain, Edi. Kalaupun Edi nggak mau, ya terpaksa melakukan pendakian solo. Ya untuk latihan mental lah. Udah lama aku nggak ngelakuin pendakian solo.
Anak Ponorogo dan Dolopo membatalkan janjinya pada malam takbiran. Terpaksa anak-anak berembug lagi. Aku tak ikut dalam rembukan tersebut. Aku sudah mantap untuk mendaki hari kamis, dengan atau tanpa teman. Diputuskan pendakian dilakukan hari kamis. Yah, akhirnya aku tidak mendaki solo. Sedikit menyesal. Tapi tak apalah, lain waktu mungkin.
Pendakian dibagi dua klodak (kelompok pendakian), pagi dan sore. Yang pagi lewat jalur Pesanggrahan, yang sore langsung lewat jalur Mendak.
Kamis pagi jam enam, Tharom(baca: Lintas Bumi Mojopahit) sudah kerumahku. Dia konfirmasi masalah keberangkatan. Aku segera packing barang. Jam tujuh aku sebenarnya udah siap, tapi justru anak-anak yang lain yang belum siap. Katanya rombongan pagi ada delapan orang. Aku, Edi, Tharom, dan yang lain aku belum kenal.
Jam delapan kami sudah pergi ke daerah Pintu, Dagangan. Tempat nyari omprengan menuju jalur pesanggrahan. Setelah menunggu cukup lama anak-anak yang lain belum datang juga. Terpaksa aku nyamperin mereka. Di konter HP milik Eli yang berjarak sekitar sekilo dari tempat mencari omprengan. Disinilah biasanya anak-anak melakukan rapat. Inilah base camp kami. Disitu baru ada satu orang yang akan berangkat pagi, Robert alias Sodik. Robert ini anak Ponorogo satu-satunya yang datang.
Sekira setengah jam, rombongan yang lain baru datang(kambing!!! budaya ngaret seperti inilah yang membuat kita banyak membuang waktu untuk hal-hal yang nggak perlu), Gian, Yudi, Andik, dan Samsul. Setelah ngumpul semua di counter hp milik Eli(dia akan ndaki sore), kami segera nyari omprengan. Dapet sih, tapi omprengan ngetem dulu(ini juga buang-buang waktu!!). Nunggu penumpang yang lain katanya. Penumpang yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Setelah kami desak, akhirnya pak sopirnya mau juga. Kami langsung diantarnya ke Pesanggrahan. Titik awal pendakian.
Tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan sang mobil untuk membelah jarak Pintu-Pesanggrahan. Kami kena empat puluh ribu. Sebenarnya mereka minta enampuluh ribu, ya kami nego dong. Masih banyak omprengan yang lain jika dia tiada mau.
Begitu sampai pesanggarahan kami langsung berangkat. Pesanggarahan berada sekitar 600 mdpl. Terdiri dari hutan pinus dan diselingi tanaman-tanaman produktif yang dikelola oleh penduduk setempat.
Siang itu udara terik sekali. Ubun-ubunku rasanya mau merekah. Tetapi itu tak menyurutkan langkah kami. Sesampainya dilembahan, disungai pertama yang kami lewati, kami istirahat. Capek juga sih. Sekira lima belas menit tak ada haiwan yang nampak. Monyetpun tiada. Padahal sekitar sepuluh tahun yang lalu di kawasan pesanggrahan sering sekali aku temui kawanan monyet. Dulu tempat ini adalah kawasan orang-orang bermadu kasih(baca:pacaran), dan aku salah satunya. Hehehe… Setelah puas beristirahat kami segera melanjutkan perjalanan.

Kami sempat kehilangan jalan. Kelihatanya jalur ini sudah lama tak dilalui. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya ketemu juga jalur yang dimaksud. Sekira satu jam kami berjalan, sampai juga di desa terakhir. Dusun Gedangan, Desa Mendak di Kabupaten Madiun dan Dusun Semenok, Desa Ngebel di Kabupaten Ponorogo. Dua dusun ini hanya dipisahkan oleh sungai kecil. Dua-duanya bisa dilalui. Tapi lewat dusun Semenok jalannya lebih lebar, karena sering digunakan oleh para pendaki.
Kami istirahat di dusun Semenok, untuk mengisi perekalan air dan untuk mengisi perut kami yang mulai keroncongan. Tharom dan Gian tadi bawa nasi dua bakul, satu untuk di sarapan di Semenok, dan satunya waktu sampai puncak. Kami segera istirahat di bawah pohon. Perbekalan segera kami buka. Tinggal makan aja. Lewat penduduk setempat. “Dik di bawah itu ada kakus.” Anjrittt, sapi perah!!!! Dia nyuruh kami pindah ketempat yang lebih layak. Pantesan dari tadi baunya kok nggak enak gitu, Kampret!!. Udah terlanjur basah. Dibawah bayang-bayang bau dan isi kakus, makanan kami sikat habis. Bahkan daun pisang yang jadi alasnyapun hampir kami sikat jua.

Setelah persiapan semuanya selesai, pukul 12.30 kami berangkat dari Semenok. Jalan awal sih landai banget, datar gitu. Setelahnya kami menemui tanjakan pertama.
Cukup lumayan. Kampring!!! Dengan kemiringan sekitar limapuluh derajat. Badan serasa dibebani tubuh yang luar biasa berat. Baru sepuluh langkah istirahat, lima langkah istirahat, begitu seterusnya. Akhirnya sampai juga dipersimpangan jalur. Tempat landai, yang biasa kami sebut pos satu. Sekira pukul 13. 45. Kami istirahat lima menit. Kami saling tertawa. Melihat teman-teman kelelahan dalam kebersamaan, membuat kami semangat kembali.
Reco Macan adalah tujuan berikutnya. Biasa kami sebut pos dua. Disini sebenarnya tiada Reco(Arca). Yang ada cuma kumpulan batu-batu besar tak beraturan yang mirip orang bersila. Alkisah menurut penduduk, dulu di batu-batu itu sering nampak macan(harimau) bertengger diatasnya. Makanya penduduk sekitar menyebutnya Reco Macan(arca yang sering di singgahi macan, atau arca yang seperti macan, atau apalagi ya?? Arca yang pacaran ma macan!!!hehehehe…) Kami sampai di Reco Macan 14.00. Sekitar lima menit kami istirahat. Disitu kami sempatkan bercanda. Terutama untuk memompa semangat teman-teman yang mulai meluntur, mengikuti fisik yang makin melemah. Tetapi melihat hijaunya hutan, membuat semangat kami bangkit lagi.
Puncak Tapak Bima sudah menunggu kami. Segera kami beranjak. Dengan semangat empat lima, (kenapa harus empat lima, kenapa nggak semangat dua delapan, pas tahunnya sumpah pemuda ya?? Atau semangat 2007??) Gian memimpin pasukan. Menyusuri ilalang yang lebih tinggi dari tubuh kami. Badan beret terkena ilalang, beban menggantung dipundak, peluh membasah, tak mematahkan asa kami. Tubuh makin lelah, jalan makin menanjak, memaksa kami untuk sering istirahat. Kami sampai di pos tiga, tempat landai terakhir sebelum puncak, pukul 15.05. Jarak pos tiga dan puncak cukup dekat. Tapi karena badan yang makin kelelahan, jadi terasa sangat lama.
Setelah berjalan tertatih-tatih(biar dramatis), berdarah-darah(kan beret-beret kena daun ilalang) dan megap-megap(cause udaranya mulai tipis), akhirnya sampai juga kami di puncak. Angka di hp menunjuk 15.30. Kami langsung rebahan kelelahan. Kami sampai puncak secara bersamaan. Delapan orang sekaligus, tanpa ada yang kececer satupun. Dan rasa lelah itu terbayar sudah. Thanks God!!!

Seringkali keberhasilan itu harus dilalui dengan jalan berat. Jalan menanjak, penuh rintangan penuh onak dan duri. Kadan perlu nggetih dalam prosesnya. Tapi seringkali juga, didalam proses yang berdarah-darah tersebut kita menemukan kenikmatan. Kenikmatan yang tidak kita dapat jika kita berada di “comfort zone”. Kenikmatan yang Tuhan berikan seiring dengan kerja keras kita.



Kamis, November 15, 2007

Malang Kota Bunga

Tadi pagi malang ujan abu gitu. entah dari gunung semeru atau gunung kelud, aku nggak tau. kelihatanya sih dari gunung semeru.
aku udah seminggu ini di malang. rencananya sih cuma 3 hari aja di malang. kasihan surabaya, terlalu lama aku tinggalin. tapi aku lagi menikmati kota malang dengan segala positif dan negatifnya...
aku cuma bisa I Love Malang very much!!!

Selasa, November 13, 2007

Welcome to Silence Road

Ketika tulisan ini terbaca... Ini saatnya aku harus menulis...
Berkreasi dengan segenap kekuatan...Menjelajah kata-kata tanpa tepi...Tanpa akhir...
Aku yakin aku bisa...