Kamis, Desember 27, 2007

IBU

Aku hanya bisa menangis di saat itu. Tak lebih. Ibu selimuti diriku dengan kehangatan. Dengan senyum penuh makna ketulusan. Ibu susui aku dengan cinta dan kasih sayang. Aku tertawa girang. Tanpa tahu makna hidup. Tanpa dosa terus meminta. Terima kasih ibu.

Aku belajar semua tentang hidup. Ibu ajari dengan ketulusan dan kebijakan. Tanpa keluh meski seringkali dengan peluh. Tanpa amarah meski seringkali dengan darah. Tanpa lelah ku terus menangis. Tanpa henti bahkan. Terima kasih ibu.

Aku buat kesalahan-kesalahan. Ibu maafkan dengan kelapangan. Aku buat kenakalan, ibu balas dengan cinta.

Ibu. Ibu begitu agung untuk menghadapiku. Ibu begitu berkilau ditengah lumpur dosa diriku. Sedari kemarin aku hanya meronta, tanpa tahu makna. Harum jiwamu tanpa pamrih terus menyebarkan wangi kepada dunia. Terima kasih ibu.

Sekarang, aku telah beranjak dewasa. Senyum agungmu terus tersungging. Meski sering kali aku berderit tanpa dosa. Segunung dosa telah kubuat. Bahkan ibu terus melindungi. Dari hujan dan badai dunia. Terima kasih ibu.

Diperantauan ini sekarang ibu. Aku hanya bisa berdoa untuk semuanya. Baru itu yang bisa aku lakukan. Baru itu yang bisa aku jalankan. Tak bisa aku melakukan yang lebih. Maafkan aku ibu. Maafkan dengan tulus. Aku yakin tanpa memintapun aku pasti mendapatkanya.

Cintamu begitu tulus dan agung. Terimalah secuil baktiku ini. Aku akan berusaha untuk lebih baik. Sekedar untuk menghadirkan senyum diwajahmu yang makin menua. Sekedar membuat lega hari-harimu sekarang ini. Aku berjanji. Setulus-tulusnnya. Sebenar-benarnya.

Terima kasih ibu.

Sebuah Oase Cinta

Ku duduk terpekur. Ku rayapi sunyi malam dengan doa. Kulihat sunggingan senyummu di wajah rembulan . Aku si pungguk tak tahu diri. Aku yang mengejarmu penuh harap. Dua tahunku dihinggapi cemas dan takut. Dua tahun kupupuk benih cinta didada.

Bulir-bulir cinta mulai tersemai dihatimu. Kurasai hari itu makin dekat. Hari kita bersatu. Hari tanpa sekat, hanya sang amor tersimpul dihati.Oh dewi embunku. Kau yang membuta sekaligus membuka hati. Terima kasih tak teperi kuberikan. Terima kasih Tuhan.

Aku hijapi tubuh dengan doa. Sekedar untuk melihatmu tersenyum dan tertawa. Setelah sekian lama akhirnya tunai sudah. Ku riut kata demi kata. Hari demi hari. Purnama demi purnama. Memandangmu serasa oase yang menyirami sahara hatiku yang penuh luka. Penuh amarah dan dosa. Detik-detik penuh makna kurasai dekatmu.

Sekembalinya ku dirantau. Kebinatanganku membuncah keluar. Serigala gurun tanpa adab dan rasa. Oase itu ku tinggalkan. Sekedar untuk melihat pelangi senja. Ternyata itu hanya fatamorgana. Membias dan akhirnya hilang. Tanpa bekas bahkan. Fatamorgana sialan yang menuntunku pada jurang kenistaan.

Aku ingin bangkit dan kembali. Badai gurun menderu dan terus berarak serasa tanpa henti. Tanpa tepi. Aku hanya pasrah terpekur duduk. Sang serigala gurun tanpa matahati. Buta sebuta-butanya. Senista-nistanya. Tanpa arah dan harapan.

Berbukit-bukit ku lewati menuju oase cinta. Tak disangka serombongan kafilah bersandar disana. Meriut-riut luka dihati. Menghujam tanpa tepi. Aku harus membalas. Aku harus membalas. Sekejam-kejamnya. Sekeras-kerasnya.

Kuliuri oase itu dengan racun darahku. Darah kotor yang bersemayam sedari jurang. Racun sang fatamorgana. Oase hanya berderit pelang. Laiknya danau dilempari baru. Berderit pelan dan akhirnya melenyap. Dia tetap anggun. Dia tetap oase cinta yang hanya memberi. Tak minta kembali barang setetespun. Oase cinta yang agung.

Luka itu terus menganga. Menghabiskan setetes demi setetes darah kotorku. Tubuhku mengejang hebat. Kurasai ajalku makin dekat. Tapi darah kotor itu mulai mengering. Dalam kehausan di tengah sahara. Oase itu datang memberi. Air kehidupan yang mengaliri kerongkongan hidupku. Pelan namun pasti. Hatiku berderit pelan menangis. Tak seharusnya kutinggalkan oase itu. Dengan dendam bahkan.

Darah kotor mulai hilang dibadanku. Aku mulai belajar jalan. Setapak demi setapak. Semoga ada oase lagi yang bisa kusinggahi. Atau mungkin aku akan bersanding disana. Di oase cinta gurun sahara.

* Terima kasih sekali aku sampaikan untukmu. Sudah terlalu banyak bahagia kau berikan. Aku selalu membalasnya dengan ketaknyamanan, derita dan sering kali tangis. Maafkan aku ya. Aku hanya berharap senyum rembulanmu terus bersinar. Tak kenal siang dan malam. Kau seorang wanita anggun disana.

Minggu, Desember 23, 2007

Negeri Pasta Gigi

Ada sesuatu yang menarik yang pernah aku amati.. Sering kali dalam kesulitan muncul para pemenang” hebat. Begitu yang kurasakan. Dalam suasana terjepit sering kali aku justru bisa melakukan sesuatu yang ‘hebat’.

Sebuah contoh kecil waktu kecilku. Ketika teman” main dengan layang” dan benang gelasan yang di beli dari toko, dengan penuh keterbatasan aku mampu membuat benang gelasan produk sendiri, kaca yang ditumbuk halus, dicampur getah pohon mangga dan juga putih telur. Layang” pun serupa. Dari kertas bekas, bambu yang diambil dari belakang rumah dan juga lem dari tepung kanji yang digodog. Hasilnya pun sangat memuaskan. Layang” dan benang ‘made in’ ku beberapa kali menang. Dan sangat tahan lama. Begitupun smp. Ketika teman-temanku menggunakan motor dan kadang diantar orang tuanya pergi sekolah. Sedang aku harus mengayuh sepeda, itupun berbocengan dengan teman sekampung. Panas dan tentunya peluh membasah. Tapi prestasiku di sekolah cukup ‘lumayan’.

Serupa rakyat negeri ini. Ketika krisis ataupun dalam keterbatasan justru keluar para pemenang”. Siapa yang tak kenal Edam Burger. Dengan I Made Bagiana sebagai motornya, yang justru mengalami peningkatan omset yang luar biasa setelah negara mengalami krisis moneter. Dia mengakomodir keinginan orang makan burger dengan harga yang terjangkau. Sebelum krisis siapa yang kenal dengan dia. Atau Tung Desem Waringin. Ditengah bangsa yang krisis, baik ekonomi, moral ataupun mental, dia keluar sebagai motivator nomor wahid. Ketika rakyat Indonesia semakin depresi, semakin stres semakin dibutuhkan orang seperti dia. Dia berubah dari seorang karyawan BCA menjadi seorang motivator ulung justru karena dia dihadapkan dengan kenyataan, ketika gajinya yang ‘lumayan’ tak mampu membayar barang sehari perawatan ayahnya di sebuah rumah sakit Singapura.

Sering kali para pemenang lahir justru ketika dia mengalami peristiwa yang sangat berat. Seringkali karena keterbatasan, lahirlah manusia” ‘super’ yang seringkali menjadi inspirasi. Dan hal itu jamak terjadi di sini. Di negeri ini. Layaknya Pasta Gigi, kalo nggak di pencet nggak akan keluar.

* Tulisan ini sebenarnya untuk memotivasi aku, karena sekarang begitulah keadaanku. Semoga aku juga bisa menjadi pemenang bagi hidupku.

Rabu, Desember 19, 2007

Perubahan Mindset

Dulu aku selalu berfikir hidupku bagai bola salju yang meluncur dari atas bukit. Pertama dia adalah sesuatu yang kecil. Setelah sekian lama menggelinding, dia akan membesar. Dan terus membesar. Dia akan menerjang segala rintangan yang ada. Dan akan berhenti di laut dengan ukuran yang besar.
Serupa dengan itu. Aku harus menerjang rintangan yang berat. Dengan keringat dan seringkali darah. Ketika aku harus berhadapan dengan tembok tebal, aku masih menghatamkan ‘diriku’ kepadanya. Sampai aku hancur berkeping-keping. Sampai aku tak kuasa menahannya. Tapi aku terus berusaha menghantamnya. Serupa ketika aku sampai dilembahan. Ketika momentumku habis, aku terus berusaha untuk naik menuju punggung bukit. Tapi aku tak bisa menggapainya. Aku tak kuasa. Adakah yang salah dari cara pandang itu?
Aku terus berfikir. Aku terus merenung. Memang apa yang salah dari cara pandang tersebut? Karena terbebani dengan keharusan untuk menuju laut secepatnya aku terus menghatam. Dan seringkali dengan menbabi buta. Itu berimplikasi langsung pada hidupku. ‘Aku’ sering terbebani oleh banyak hal. Impian-impian yang harus aku raih. Jalan yang sudah aku ‘buat’ yang harus kutempuh. Terjangan yang harus aku lakukan, tanpa melihat seberapa kekuatanku. Aku sering menipu diriku dengan mengatakan aku mampu. Meskipun itu membutuhkan waktu, tapi aku terus menerjang.
Seringkali, yang terpenting rintangan itu hancur. Meskipun kehancuranya akan berimbas kepada kehidupan orang lain. Sering kali aku terlalu ngoyo hingga kehabisan tenaga ditengah jalan. Sering kali aku menyalahkan keadaan, tanpa melihat diriku terlebih dahulu. Dan semua bermula dari ‘aku’ tersebut.
Disuatu titik aku menemukan sesuatu yang lain disana. Dari atas bukit aku lihat aliran sungai mengalir dengan derasnya menuju lautan. Bukankah asal dan tujuannya sama. Air disungai berasal dari gunung dan tujuanya adalah laut. Serupa ‘bola salju’. Berasal dari bukit dan menuju laut. Tapi kenapa ‘air’ seperti tanpa rintangan mengalir dengan derasnya. Setelah aku perhatikan dengan seksama, air bukanya tanpa rintangan. Ada banyak rintangan bahkan. Tapi mereka berkelok dengan anggun ketika menghadapi rintangan yang tak mungkin diterjang. Ketika mereka menghadapi batu yang kecil, mereka akan menggerusnya, sampai hilang. Disepanjang alirannya tumbuh subur semua tanaman. Bahkan hewan-hewan pun menggunakanya sebagai sumber kehidupan. Sesuatu yang indah. Dari yang mata air yang kecil. Menajadi muara yang besar. dengan menghadirkan kehidupan bagi yang dilewati.
Dan begitupun seharusnya ‘aku’. Ketika menghadapi rintangan yang luarbiasa, aku harus mencari celah. Celah yang memungkinkan aku melewati tintangan itu. Tanpa perlu bersusah payah menghancurkanya. Tanpa harus merusak yang lain. Tanpa harus menyalahkan yang lain.
Menjadi manusia yang fleksibel. Itulah ‘aku’ yang aku harapkan sekarang. Bukan orang yang kuat, tapi orang yang selalu tanggap dan mudah menghadapi perubahan. Orang yang terus menggeliat mengikuti roda kehidupan. Minimal tidak terdindas olehnya. Tidak terbebani jika sesuatu yang kita targetkan tak tercapai. Mungkin harus dengan jalan lain, dengan mencoba kembali, atau mencoba dengan cara lain. Ataupun ketika ada ‘sesuatu’ yang hilang atau ‘diambil’ oleh Nya. Akupun tak akan stress berkelanjutan. Bahkan mungkin bisa lebih bahagia, karena tanggungan itu akan mengurangi beban pikiranku.
Ketika menuju kesana pun aku harus bermanfaat bagi orang lain. Seringkali aku hanya memikirkan kepentinganku. Meskipun itu ‘merusak’ untuk orang lain. Dan itu terus berulang. Maafkan jika mungkin aku pernah ‘merusak’ kalian.
Sekarang aku mulai menuju kesana. Dengan begitu ‘aku’ lebih besyukur dengan apa yang ku peroleh. Tak ngoyo tetapi selalu berupaya.
Serupa dengan setengah gelas air. Sekarang aku melihatnya sebagai gelas setengah isi. Bukan gelas yang setengah kosong. Aku nikmati air yang setengah itu dengan nikmat. Senikmat-nikmatnya.
Aku harap itu terus terjadi. Ketika apapun ‘datang’ dan ‘pergi’ aku tetap merasa kenikmatan. Tanpa ‘nikmat’ dan ‘sakit’ yang berlebih. Semoga.

Jeda dan Waktu.

Seperempat abad sudah kulewati hidup. Ada senang, sedih, sakit, sehat, nikmat, sengsara, tangis dan sering kali tawa. Aku tahu berat memang tantangan kedepan. Aku tahu aku hanya salah satu pejalan hidup yang tak berarti apa”. Atau dalam bahasaku, From Nothing To Nowhere.
Aku rasai hidupku seperti mendaki pegunungan. Ada kala harus mendaki. Terjal dan berkeringat. Seringkali aku kepayahan dan harus sejenak berhenti. Ada naik, ada turun dan kadang mendatar. Aku nikmati semua itu senikmat-nikmatnya. Memang, kadang aku tak kuasa menahan berat beban di pundak. Jeda. Itu kata yang cukup mewakili. Dalam pendakian, sering aku harus berhenti. Sekedar untuk minum, melemaskan kaki dan melihat alam sekitar. Puncak gunung memang penting, tapi perjalanan yang mengasikkan seringkali lebih penting.
Serupa dengan itu. Hidup tak melulu tujuan, target ataupun cita-cita. Sering kali proses kesana begitu nikmat untuk dirasakan. Bahkan mungkin itu yang terpenting. Seringkali kita mendapat pelajaran didalamnya. Dan dalam proses itu aku sering kali kepayahan. Ketika itu jeda sering kali dibutuhkan. Untuk ‘men-charge’ semangat yang mulai memudar.
Aku tak muda lagi. Angka dua puluh lima adalah angka penting. Seringkali ulang tahun ke dua puluh lima dirayakan dengan pesta. Apakah itu umur seseorang, ataupun sebuah mahligai perkawinan. Duapuluh lima adalah milestone menuju pendewasaan. Karenanya tak seharusnya aku terus bersikap kekanak-kanakan. Meski terkadang itu perlu. Sekedar untuk istirahat sejenak dari proses pendewasaan yang menguras tenaga. Sekedar jeda sesaat.
Aku bersyukur kepada Tuhan. Dia masih mau memberi pada hampanya yang papa ini. Terlalu banyak nikmat yang Dia beri. Dan seringkali aku tak bersukur karenanya. Maafkan aku Tuhan. Maafkan aku yang selama ini menyianyiakan begitu banyak nikmatmu. Terutama waktu.
Waktu. Dimensi yang melengkapi dimensi ruang. Besaran yang ternyata sangat relatif. Seringkali aku merasa waktu itu pendek ketika membaca sebuah buku. Atau main game jaringan dengan teman-teman. Seringkali waktu itu terasa begitu panjang. Ketika harus berhenti dilampu merah ditengah hujan dan macet yang sangat. Atau menunggu seseorang yang telah lama dinanti.
Waktu, kata-kata pendek dengan berbagai makna. Dan Tuhan menganugrahkan kepadaku tanpa imbalan. Dia hanya minta pertanggungan jawab. Mulai sekarang, akan ku intensifkan penggunaanya. Itu mungkin wujud rasa syukur tertinggi yang bisa aku lakukan. Mengisinya dengan kegiatan positif dan membangun. Semoga.
Terima kasih Tuhan.

Tempat Baru.

Remang temaram malam sering kali mengalirkan rasa sunyi. Rasa sunyi yang membuat kesepian. Diperantauan ku yang kedua setelah Bandung, sering kali aku dihinggapi rasa sedih. Sedih kehilangan kegiatan rutin yang aku lakukan dirumah. Masak di dapur dengan ibu tercinta di pagi hari, ngopi di warung deket lapangan sama teman”, nongkrong dipinggir jalan dan bercanda bareng teman sekampung, bercengkrama dan diskusi bersama keluarga di ruang tengah, makan pagi masakan ibu yang lueezaat dan masih banyak lagi yang lain. Seringkali keinginan untuk merasakannya hadir dengan kuat. Entah kenapa.
Ada yang pergi ada pula yang datang. Ketika semua hal tadi melenyap, timbul hal” baru yang datang tanpa diundang. Candaan Rizki dan Anang “Pak Mori”Banyuwangi yang seringkali mengundang tawa. Anang Madura yang seringkali menghadirkan senyum dengan bahasa jawa logat madura yang kental. Mbak Yani dengan beberapa petuah bijaknya. Malik yang sunda(hore, ayeuna urang diajar basa sunda deui) yang harus banting tulang untuk membiayai kuliahnya sambil siangnya berkerja. Dia orang Tasik asli. Lulusan SMA 1 Indihiang, katanya dia adik kelas Indra L Bruggman. Irman dengan senyumannya yang khas. Riang yang seorang jebolan STM tapi jago banget utak-atik motherboard. Dan masih banyak yang lain.
Dalam kehidupan ada yang datang dan ada yang pergi. Silih berganti. Proses alamiah yang seringkali membuatku rasai sakit, nikmat, menderita ataupun bahagia. Aku tak tahu. Mungkin inilah proses pendewasaan yang harus dijalani. Adaptasi dengan tempat baru selalu menuntut kedewasaan. Dimanapun dan kapanpun. Banyak sekali hal baru yang seringkali tidak sesuai dengan keinginan. Tapi itulah hidup didunia. Seringkali tak sesuai dengan ekspektasi.
Hidup harus terus berjalan. Sesuai atapun tak sesuai. Aku hanya harus menjalaninya sebaik-baiknya, senikmat-nikmatnya. Tak perlu berharap telalu banyak. Tak perlu rasa cemas yang berlebih. Seperti kata sebuah iklan, Enjoy Aja!

Segarnya Udara Lereng Welirang (2)

Malam Hangat di Perkemahan yang Dingin

Akhirnya kami(aku dan temenku Nur Cahyo, selanjutnya aku panggil Cahyo) sampai juga di perkemahan temen-temennya. Mereka adalah staf pengajar dan siswa dari lembaga bimbingan belajar InLAC. LBB ini baru ada sekitar tahun 2005. Cahyo adalah salah satu staf pengajar pertama di LBB. Mereka sering ngadain acara seperti ini. Untuk refresing dan juga pengakraban. Kebanyakan staf pengajarnya lulusan jurusan Psikologi Untag Surabaya, termasuk Cahyo tentunya.
Sampai disana aku berkenalan dengan beberapa orang. Ada Brantas(kayak nama sungai aja, atau jangan-jangan lahir di tepi sungai), Alfin, Mahar, Yunita dan masih banyak lagi. Maap aku lupa oey. Mereka ini para staf pengajarnya. Mereka menyebut InLACru. Sedang yang junior antara lain Putri, Hany, Era, Imei dsb. Mereka disebut InLACers. Mereka kebanyakan datang dengan pasangan masing-masing. Memang tempatnya asyik banget buat pacaran. Cahyo yang sebenarnya juga pengen ngajak pacarnya gitu. Berhubung pasangannya nggak bisa, akulah yang ketiban sampur. Jadilah kamilah pasangan homo satu-satunya di situ. Hehehehe…
Berhubung dilereng gunung, udaranya dingin banget. Tapi asyik. Sudah lama aku tak merasakan dinginya udara pegunungan. Sejak dari Malang sekitar sebulan yang lalu lah.
Balik lagi ke anak InLAC. Mereka rata-rata ramah lho. Kami sempat ngobrol ngalor-ngidul. Ditemani kopi, teh hangat dan bebera bungkus makana ringan, obrolan jadi tambah asik. Tentang sejarah InLAC, ternyata yang punya adalah senior dari Bob Foster Nainggolannya GO. Tentang perjalan tadi siang yang mereka tempuh, tentang perjalanku yang sempat kehujanan dan masih banyak lagi.
Setelah ngobrol beberapa lama, Brantas dan Alfin ngusulin gimana kalo main game aja. Gamenya tentang penjahat dan polisi. Ada penjahat, ada dokter, ada polisi dan tentunya juga rakyat biasa. Dibantu dengan satu set kartu untuk memudahkan memainkannya. Gamenya adalah tebak-tebak untuk ‘membunuh’ penjahat. Jadi dipilih satu penjahat, dua dokter dan dua polisi. Tugas penjahat adalah memilih seseorang untuk ‘dibunuh’. Tugas dokter adalah ‘menolong’ orang yang dipilih oleh sang penjahat agar tidak terbunuh. Polisi ditugaskan untuk ‘mencari’ penjahatnya. Permainan selesai jika sang penjahat ‘tertangkap’ oleh polisi. Ketika kita menuduh seseorang, haruslah didasari sebab yang harus di argumentasikan. Itu melatih anak-anak biar berani mengeluarkan pendapat. Dan yang dituduhpun harus bisa membela diri tentunya. Game yang menghibur sekaligus edukatif.
Hampir tiga jam kami memaikan game itu. Tak terasa sudah ‘lewat tengah malam’. InLACer dan InLACru sudah banyak yang ngantuk. Akhirnya game kami sudahi. Tinggal aku dan beberapa anak saja yang masih ‘idup’. Ditemani kopi dan rokok kami terus ‘mengidupkan’ suasana.. Sembari jaga” tentunya. Karena banyak sekali anak yang camping disini. Dan di bawah tempat kami ada beberapa anak yang minum” gitu.
Dingin makin terasa di kulit. Dan bodohnya aku, jaket satu-satunya yang aku bawa, aku pinjemin(maap, emang aku bego dari orok!). Dan tas yang didalamnya ada sarung yang aku bawa terselip di tenda entah yang mana(kebegoan kedua). Mana nggak bisa lihat” tenda. Udah pada tidur semua. Terpaksa aku cuma pake celana dan kaos lengan pendek doang.
Sekitar jam dua, ada seorang anak yang sakit. Shinta namanya. Kelihatanya dia kena hypothermia. Banyak yang panik gitu melihat keadaan Shinta. Sebenarnya aku nggak enak bantuin. Takut nyampurin urusan internal mereka. Tapi berhubung yang lain pada panik, terpaksa aku bantuin. Setelah beberapa saat kemudian kesadaranya mulai pulih. Hampir setengah jam kami ‘merawat’ Shinta. Dengan peralatan seadanya tentunya. Setelah agak mendingan, dia dirawat ma cewek” di tenda.
Sekitar pukul 3.30 rasa kantuk menyapaku. Aku pejamkan mata diatas jas hujan yang aku pinjam dari mereka(aku datang tanpa persiapan. Cuma bawa sarung, eh terselip. Bawa jaket malah dipinjemin! Bego!!). Segera aku ‘berlayar’ dengan ‘peralatan’ seadanya. Tak terasa aku bangun kembali. Kebelet kencing penyebabnya. Jam di hapeku menunjukkan 05.05. Aku segera beranjak ke kamar mandi.
Anak-anak yang lain masih banyak yang terlelap. Dinginnya minta ampun, jadinya enak buat tidur pake selimut didalem tenda. Sedang Cahyo masih saja terlelap sedari selesai game polisi-polisian semalem.
Matari mulai menyeruak dibalik gunung. Pertanda pagi mulai menjelang. Meskipun musim penghujan, tapi hujan tidak turun tadi malem. Semua acara kami semalam berjalan lancar. Thanks God!

Segarnya Udara Lereng Welirang (3)

Air Terjun Dlundung dan Penatnya Kehidupan.

Anak-anak InLAC mulai keluar dari tendanya masing-masing. Jam di hapeku nunjukin 06.08. Cahyopun baru keluar dari tenda yang dia tumpangi. Sambil meminum kopi aku nikmati udara pagi yang segar ini. Polusi dan panas udara Surabaya telah membuatku merindukan hal ini dengan sangat. Seringkali karena tuntutan hidup kita akan berkorban dan mengorbankan apapun.
Kadang akui piker kenapa kita tebangi hutan yang sangat berguna buat kita. Tuntutan kebutuhan ekonomi selalu jadi alasan. Meski menurutku itu sebuah keserakahan bukan kebutuhan. Seharusnya kita bisa menghadirkan udara segar seperti ini di kota. Jika kita lebih bijak terhadap alam tentunya.
Pagi ini akan diadakan outbond mengelilingi daerah sekitar air terjun. Akupun didapuk sebagai volunteer bersama beberap InLACru. Ada tiga pos yang harus dilewati peserta. Aku mendapat tugas jaga dipos satu.
Para InLACer dibagi menjadi dua kelompok. Untuk memudahkan pengawasan tentunya. Peserta diminta meleweti semua pos yang ada. Dan disetiap pos, setiap regu akan diminta untuk menjawab pertanyaan. Ketepatan jawaban, ketepatan waktu dan kekompakan tim yang akan dinilai.
Gerimis mendatangi lereng Welirang. Hal itu tak menyurutkan semangat InLACru dan InLACres. Acara yang dimulai jam 7.30 selesai jam 9.30.
Setelah semua selesai, kami segera berkumpul kembali di camp. Setelah musyarawarah untuk menentukan jam pulang kami segera berangkat ke air terjun Dlundung. Tidak terlalu istimewa. Tapi lebih dari cukup untuk mengurangi penat pikiran. Beberapa InLACer mandi dan berfoto di air terjun. Aku hanya melihat dari pinggir. Sembari melihat orang yang terus berdatangan. Hampir semuanya berpasangan. Jadi iri oey. Tapi tak mengapa, kan udah biasa ngejomblo. Hehehehe…
Setelah puas memandangi air terjun yang tak berubah-ubah(emang mau berubah gimana lagi) aku segara beranjak menuju camp. Jarak antar camp dan air terjun sekitar lima ratus meter. Selepas tangga aku dan Cahyo sempat mampir di warung bakso. Sekedar untuk mengisi perut yang sedari tadi cuma terisi kopi dan roti.
Selesai makan aku segera beranjak ke camp. Rombongan akan balik jam setengah dua. Karena kami pengen balik sekitar jam dua belasan, terpaksa kami nggak bisa pulang bareng. Kami segera pamit dan beranjak pulang. Segera kupacu motor menelan aspal-aspal lereng Welirang.
Di kanan-kiri aku lihat banyak sekali anak-anak manusia sedang asyik memadu asmara. Memori itu mengingatkanku pada masa-masa SMA. Masa hidup yang paling indah. Hampir tanpa beban hidup. Yang melingkupi hanya kesenangan yang bersambung tiada habis. Sesampai di jembatan kali Porong daerah Mojosari aku berhenti sejenak. Jembatan itu sedang dibangun. Ditambah satu lagi. Sebagai jalan alternatif dari arah timur Jawa ke arah barat tanpa melewati Lumpur Panas Lapindo. Selain memberi efek negatif, ternyata Lumpur juga memberi efek positif, walau hanya sebagian. Mojosari salah satunya.
Selepas Pabrik Tebu Tulangan kami berbelok mengikuti alur sungai sudetan Kali Porong. Air mengalir dengan jernih. Tembok” tebal yang menyikupi sungai berdiri kokoh tanpa retak. Untuk masalah pengairan Bangsa Belanda Memang luar biasa. Salut.
Jalannya sempit dan banyak sekali polisi tidur. Tapi lumayan sepi. Eh keluar-keluar udah deket pasar Larangan Sidoarjo. Lumayan menghibur ditengah badan yang mulai memenat.
Aku segera memacu motor di atas jalan aspal Sidoarjo-Surabaya. Siang itu terasa begitu terik. Badanku masih adaptasi. Dari tempat dingin ke tempat panas. Sesuatu yang menyiksa tentunya. Badanku yang mulai didera kantuk dan lelah mulai sulit diajak kompromi. Cahyo yang aku bonceng, berkali-kali tidur. Hal itu seringkali membuyarkan konsentrasiku terhadap jalan. Terpaksa aku jalan lebih pelan. Jam satu lima belas akhirnya sampai juga aku dirumah Cahyo. Dia langsung tertidur begitu sampai dirumah. Sedang aku yang minta diantakanya ke kosan terpaksa menunggu dia bangun. Sembari menunggu aku minta ijin untuk mandi. Badaku yang sedari kemarin tak tersentuh sabun minta untuk diperhatikan. Selesai mandi akupun menyusul Cahyo tidur. Badanku tak bisa dibohongi. Jam setengah lima aku bangun. Karena Cahyo sibuk dengan pacarnya, terpaksa aku diantakan adiknya menuju kosan. Tak terasa badanku masih ingin tidur kembali. Kurebahkan sejenak di kasur butut kamarku.
Aku bermimpi alangkah indahnya jika kita bisa menghadikan kesejukan itu di kota ini. Mall-mall yang terus bertebaran tanpa menyisakan ruang terbuka publik, seakan menyesakkan jiwa. Seringkali kita harus berjuang jauh untuk mendapatkan sesuatu bernama udara segar. Sesuatu yang terasa mewah bagi kita tapi tidak untuk mereka penghuni lereng Welirang. Terima kasih Welirang, suatu saat aku akan kembali. Dengan ijin Tuhan tentunya. Entah kapan!

Jumat, Desember 07, 2007

Segarnya Udara Lereng Welirang.

Perjalanan yang melelahkan

“Dingin banget oey!!” Kata ini terucap ketika motor Honda Supra 125R yang aku kendarai tiba di daerah Wana Wisata Air Terjun Dlundung sekitar pukul 21.00 tanggal 1 desember 2007. Terletak di lereng utara Gunung Welirang di ketinggian sekita 1500 meter dpl. Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto tepatnya.

Berarti sekitar 2 jam waktu yang aku butuhkan untuk menggilasi jalan Surabaya-Dlundung. Aku berangkat dari Surabaya sekiar jam 17.30. Jalanan macet luar biasa. Ini waktunya orang bubaran kantor. parahnya, temenku sempat cek-cok dengan pacarnya. Dia ijin mendadak gitu ke pacarnya. Trus pacarnya marah-marah. Setelah berdebat sekitar 30 menit akhirnya dia dapat ijin juga. Sebenarnya ini acara temenku tersebut. Sebuah LBB di Sidoarjo bernama InLAC yang dulu tempat dia berkerja ngadain acara outbond gitu. Karena temenku nggak jadi ngajak pacarnya, ya akhirnya ngajak aku. Hehehe… ya cuma serep sih…

Melewati jalan Daendels dari daerah Wonokromo-Surabaya ke selatan sampai Candi-Sidoarjo, aku berbelok arah. Dan ternyata kami salah berbelok. Harusnya sekitar 500 meter lagi, baru belok ke arah barat. Setelah ketemu masjid kami sholat dulu. Sekitar lima belas menit kami disini. Segera kami beranjak menuju mojosari. Setelah memutar kami langsung tancap gas kearah barat, ke daerah Tanggulangin. Kami lewati daerah sentra Tas dan Sepatu Kulit di daerah tersebut yang menyepi gara-gara lumpur panas yang lebih beken disebut Lumpur Lapindo tersebut. Setelah melewati kawasan itu kami berbelok kerah selatan, melewati jembatan layang diatas Tol Surabaya Gempol. Disini, beberapa hari yang lalu sempat meninggal dua orang pesepeda motor, gara-gara kunduran truk tua yang tidak kuat menaiki jalan layang tersebut. Sungguh tragis, nyawa di negeri ini sering dikorbankan oleh masalah-masalah sepele.

Sekitar lima belas menit kami sampai didaerah Tulangan. Sosok Sanikem atau Nyai Ontosoroh di tetralogi Buru menghayal di memoriku. dia berasal dari daerah ini. Ekonomi daerah ini digerakkan oleh industri tebunya, dari hulu sampai hilir. Persis sperti cerita Pram.

Aku terus mempercepat lari sang motor. Sampai juga di daerah Mojosari. Pembangunan di daerah ini menggeliat dengan hebat akibat Lumpur Lapindo. Jalur Mojosari memang jalur alternatif utama jika tak ingin melewati kawasan Lumpur. Jalanan dan juga jembatan dilebarkan setiap hari. Ternyata ada imbas positif juga dari Lumpur itu, meski cuma beberapa saja.

Di jalur Mojosari-Trawas yang menanjak, cuaca kurang bersahabat. Hujan turun, memaksa kami berteduh di sebuah warung. Dasar perut juga sudah lapar, kami segera memesan es teh dan nasi goreng. Sekitar 45 menit kami berhenti. Hujan menunjukkan internsitas yang makin berkurang. Kami segera beranjak. Udara yang mulai dingin tak menyurutkan niat kami. Motor segera aku pacu di jalan yang menanjak terus-menerus, tak kami temui jalan menurun, maklum kan lagi kedataran yang lebih tinggi. Hehehe…

Akhinya sampai juga di pos penjagaan. Ini yang bikin nggak maju pariwisata Indonesia, mereka sangat tidak ramah terhadap kami. Ramah aja nggak apalagi informatif, dan ini aku temui hampir disetiap tempat pariwisata. Hanya beberapa yang tidak. Jadi selain obyek wisata, tentunya SDM yang begelut didalamnya harus ditingkatkan juga.

Aku segera mencari rombongan InLAC tersebut. Setelah putar-putar dan nggak ketemu, hehehe… temenku inisiatif menelpon. Setelah diberitahu tempat pastinya akhirnya ketemu juga. Mbok ya dari tadi nelponya mas!! Biar nggak capek nyariinnya. Hehehe…