Minggu, Januari 27, 2008

Konsumerisme

Beberapa hari ini aku dapat tugas stand by di daerah Surabaya barat. Sebuah Mall megah bernama PTC. Akronim dari Pakuwon Trade Centre. Kulihat hilir mudik pengunjung Mall. Kebanyakan mereka adalah anak-anak muda. Mereka bergerombol beberapa orang. Tapi kebanyakan berpasang-pasangan. Mereka penuh suka cita dan tentunya canda ria.
Ku perhatikan denga seksama. Mulai dari atas sampai bawah. Mulai dari jepit rambut sampai sandal jepit. Hampir semuanya merek-merek terkenal. Dan terlihat keren tentunya. Minimal itu membuat mereka lebih ‘pd’.
Jadi teringat dulu waktu masih di Bandung. Aku begitu merek minded. Kalau tidak bermerek mentereng rasanya malu untuk memakainya. Memang merek mencitrakan kualitas barang. Seringkali aku membeli bukan karena fungsionalitas atau keawetan dan kenyamanan barang tersebut, tapi lebih pada gengsi semu yang ditawarkan merek tersebut. Sebuah kesemuan yang dibuat oleh sang merek untuk membutakan pikiranku. Dan sekarang budaya semu itu terlihat dimana-mana. Dan aku melihat begitu nyata disini. Di Mall ini.
Tapi tak bisa dipungkiri. Televisi begitu kuat memberi pengaruh budaya semu tersebut. Jangankan di Surabaya, di kampungku yang terpencil di lereng Gunung Wilis pun budaya itu mulai tumbuh. Dari mulai baju, sepatu, celana, tetapi yang paling mencolok adalah ‘tunggangan’ dan handphone.
Dulu kami terbiasa jalan kaki atau maksimal naik sepeda untuk jarak tempuh sekitar satu kilometer, dan bahkan lebih. Tetapi sekarang, untuk jarak beberapa ratus meter saja kami enggan naik sepeda, apalagi jalan kaki. Kami gunakan motor. Kami mulai malu kalau naik sepeda atau jalan kaki. Itu akan menurunkan derajat dalam masyarakat. Begitu pikir kami. Dan kami masih bersaing, tentang model, merek serta kebaruannya.
Serupa handphone. Dulu tak ada handphone di kampung kami. Datanglah era telepon nirkabel dengan GSM sebagai ‘babonnya’. Kampung kami tak mengenal AMPS. Awalnya kami membeli handphone sekedar bisa telpon dan sms. Tetapi sekarang, kami begitu membanggakan handphone yang penuh fitur, modern dan baru tentunya. Walaupun kami tak tahu kegunaan fitur-fitur tersebut. Yang penting terlihat canggih dan keren.
Ataupun yang paling kasat mata adalah gaya pacaran. Dulu kami paling pacaran di rumah ataupun kalo keluar paling” ketempat wisata. Sekarang, emms... Mall” yang makin menjamur dengan kafe-kafenya yang nyaman tapi mahal menjadi tujuannya. Dengan semakin menjamurnya ‘gaya hidup modern’ tersebut, makin kuatlah sang konsumerisme menancapkan kuku-kukunya. Menghujamkan pengaruhnya.
Tak bisakah hal tersebut dicegah? Atau dihilangkan sekalian?...Susah dan nyaris mustahil. Mungkin yang bisa kita lakukan adalah mengurangi hal-hal tersebut dari daftar kebiasaan dan keinginan kita. Tak perlu drastis. Cukup mengurangi frekwensinya saja. Dari yang biasa belanja pakaian setiap minggu menjadi setiap bulan, dari ganti handphone setiap bulanya jadi per setengah tahun dan seterusnya.
Saya yakin, kita tak akan jadi orang purba ataupun orang terbelakang jika tidak melakukan hal-hal tersebut. Dan mungkin budget dari hal-hal tersebut bisa kita alihkan untuk yang lain. Membeli buku, berbagi dengan sesama yang lebih membutuhkan, atau yang lain. Saya yakin itu akan lebih menumbuhkan kebahagiaan. Bukan kebahagiaan semu yang menuntut pengakuan orang lain. Bukan kebahagiaan yang timbul karena kita diakui sebagai orang gaul, atau orang modern. Kebahagiaan yang lebih dalam dari sekedar itu. Semoga.

Tidak ada komentar: