Kamis, Desember 27, 2007

IBU

Aku hanya bisa menangis di saat itu. Tak lebih. Ibu selimuti diriku dengan kehangatan. Dengan senyum penuh makna ketulusan. Ibu susui aku dengan cinta dan kasih sayang. Aku tertawa girang. Tanpa tahu makna hidup. Tanpa dosa terus meminta. Terima kasih ibu.

Aku belajar semua tentang hidup. Ibu ajari dengan ketulusan dan kebijakan. Tanpa keluh meski seringkali dengan peluh. Tanpa amarah meski seringkali dengan darah. Tanpa lelah ku terus menangis. Tanpa henti bahkan. Terima kasih ibu.

Aku buat kesalahan-kesalahan. Ibu maafkan dengan kelapangan. Aku buat kenakalan, ibu balas dengan cinta.

Ibu. Ibu begitu agung untuk menghadapiku. Ibu begitu berkilau ditengah lumpur dosa diriku. Sedari kemarin aku hanya meronta, tanpa tahu makna. Harum jiwamu tanpa pamrih terus menyebarkan wangi kepada dunia. Terima kasih ibu.

Sekarang, aku telah beranjak dewasa. Senyum agungmu terus tersungging. Meski sering kali aku berderit tanpa dosa. Segunung dosa telah kubuat. Bahkan ibu terus melindungi. Dari hujan dan badai dunia. Terima kasih ibu.

Diperantauan ini sekarang ibu. Aku hanya bisa berdoa untuk semuanya. Baru itu yang bisa aku lakukan. Baru itu yang bisa aku jalankan. Tak bisa aku melakukan yang lebih. Maafkan aku ibu. Maafkan dengan tulus. Aku yakin tanpa memintapun aku pasti mendapatkanya.

Cintamu begitu tulus dan agung. Terimalah secuil baktiku ini. Aku akan berusaha untuk lebih baik. Sekedar untuk menghadirkan senyum diwajahmu yang makin menua. Sekedar membuat lega hari-harimu sekarang ini. Aku berjanji. Setulus-tulusnnya. Sebenar-benarnya.

Terima kasih ibu.

Sebuah Oase Cinta

Ku duduk terpekur. Ku rayapi sunyi malam dengan doa. Kulihat sunggingan senyummu di wajah rembulan . Aku si pungguk tak tahu diri. Aku yang mengejarmu penuh harap. Dua tahunku dihinggapi cemas dan takut. Dua tahun kupupuk benih cinta didada.

Bulir-bulir cinta mulai tersemai dihatimu. Kurasai hari itu makin dekat. Hari kita bersatu. Hari tanpa sekat, hanya sang amor tersimpul dihati.Oh dewi embunku. Kau yang membuta sekaligus membuka hati. Terima kasih tak teperi kuberikan. Terima kasih Tuhan.

Aku hijapi tubuh dengan doa. Sekedar untuk melihatmu tersenyum dan tertawa. Setelah sekian lama akhirnya tunai sudah. Ku riut kata demi kata. Hari demi hari. Purnama demi purnama. Memandangmu serasa oase yang menyirami sahara hatiku yang penuh luka. Penuh amarah dan dosa. Detik-detik penuh makna kurasai dekatmu.

Sekembalinya ku dirantau. Kebinatanganku membuncah keluar. Serigala gurun tanpa adab dan rasa. Oase itu ku tinggalkan. Sekedar untuk melihat pelangi senja. Ternyata itu hanya fatamorgana. Membias dan akhirnya hilang. Tanpa bekas bahkan. Fatamorgana sialan yang menuntunku pada jurang kenistaan.

Aku ingin bangkit dan kembali. Badai gurun menderu dan terus berarak serasa tanpa henti. Tanpa tepi. Aku hanya pasrah terpekur duduk. Sang serigala gurun tanpa matahati. Buta sebuta-butanya. Senista-nistanya. Tanpa arah dan harapan.

Berbukit-bukit ku lewati menuju oase cinta. Tak disangka serombongan kafilah bersandar disana. Meriut-riut luka dihati. Menghujam tanpa tepi. Aku harus membalas. Aku harus membalas. Sekejam-kejamnya. Sekeras-kerasnya.

Kuliuri oase itu dengan racun darahku. Darah kotor yang bersemayam sedari jurang. Racun sang fatamorgana. Oase hanya berderit pelang. Laiknya danau dilempari baru. Berderit pelan dan akhirnya melenyap. Dia tetap anggun. Dia tetap oase cinta yang hanya memberi. Tak minta kembali barang setetespun. Oase cinta yang agung.

Luka itu terus menganga. Menghabiskan setetes demi setetes darah kotorku. Tubuhku mengejang hebat. Kurasai ajalku makin dekat. Tapi darah kotor itu mulai mengering. Dalam kehausan di tengah sahara. Oase itu datang memberi. Air kehidupan yang mengaliri kerongkongan hidupku. Pelan namun pasti. Hatiku berderit pelan menangis. Tak seharusnya kutinggalkan oase itu. Dengan dendam bahkan.

Darah kotor mulai hilang dibadanku. Aku mulai belajar jalan. Setapak demi setapak. Semoga ada oase lagi yang bisa kusinggahi. Atau mungkin aku akan bersanding disana. Di oase cinta gurun sahara.

* Terima kasih sekali aku sampaikan untukmu. Sudah terlalu banyak bahagia kau berikan. Aku selalu membalasnya dengan ketaknyamanan, derita dan sering kali tangis. Maafkan aku ya. Aku hanya berharap senyum rembulanmu terus bersinar. Tak kenal siang dan malam. Kau seorang wanita anggun disana.

Minggu, Desember 23, 2007

Negeri Pasta Gigi

Ada sesuatu yang menarik yang pernah aku amati.. Sering kali dalam kesulitan muncul para pemenang” hebat. Begitu yang kurasakan. Dalam suasana terjepit sering kali aku justru bisa melakukan sesuatu yang ‘hebat’.

Sebuah contoh kecil waktu kecilku. Ketika teman” main dengan layang” dan benang gelasan yang di beli dari toko, dengan penuh keterbatasan aku mampu membuat benang gelasan produk sendiri, kaca yang ditumbuk halus, dicampur getah pohon mangga dan juga putih telur. Layang” pun serupa. Dari kertas bekas, bambu yang diambil dari belakang rumah dan juga lem dari tepung kanji yang digodog. Hasilnya pun sangat memuaskan. Layang” dan benang ‘made in’ ku beberapa kali menang. Dan sangat tahan lama. Begitupun smp. Ketika teman-temanku menggunakan motor dan kadang diantar orang tuanya pergi sekolah. Sedang aku harus mengayuh sepeda, itupun berbocengan dengan teman sekampung. Panas dan tentunya peluh membasah. Tapi prestasiku di sekolah cukup ‘lumayan’.

Serupa rakyat negeri ini. Ketika krisis ataupun dalam keterbatasan justru keluar para pemenang”. Siapa yang tak kenal Edam Burger. Dengan I Made Bagiana sebagai motornya, yang justru mengalami peningkatan omset yang luar biasa setelah negara mengalami krisis moneter. Dia mengakomodir keinginan orang makan burger dengan harga yang terjangkau. Sebelum krisis siapa yang kenal dengan dia. Atau Tung Desem Waringin. Ditengah bangsa yang krisis, baik ekonomi, moral ataupun mental, dia keluar sebagai motivator nomor wahid. Ketika rakyat Indonesia semakin depresi, semakin stres semakin dibutuhkan orang seperti dia. Dia berubah dari seorang karyawan BCA menjadi seorang motivator ulung justru karena dia dihadapkan dengan kenyataan, ketika gajinya yang ‘lumayan’ tak mampu membayar barang sehari perawatan ayahnya di sebuah rumah sakit Singapura.

Sering kali para pemenang lahir justru ketika dia mengalami peristiwa yang sangat berat. Seringkali karena keterbatasan, lahirlah manusia” ‘super’ yang seringkali menjadi inspirasi. Dan hal itu jamak terjadi di sini. Di negeri ini. Layaknya Pasta Gigi, kalo nggak di pencet nggak akan keluar.

* Tulisan ini sebenarnya untuk memotivasi aku, karena sekarang begitulah keadaanku. Semoga aku juga bisa menjadi pemenang bagi hidupku.

Rabu, Desember 19, 2007

Perubahan Mindset

Dulu aku selalu berfikir hidupku bagai bola salju yang meluncur dari atas bukit. Pertama dia adalah sesuatu yang kecil. Setelah sekian lama menggelinding, dia akan membesar. Dan terus membesar. Dia akan menerjang segala rintangan yang ada. Dan akan berhenti di laut dengan ukuran yang besar.
Serupa dengan itu. Aku harus menerjang rintangan yang berat. Dengan keringat dan seringkali darah. Ketika aku harus berhadapan dengan tembok tebal, aku masih menghatamkan ‘diriku’ kepadanya. Sampai aku hancur berkeping-keping. Sampai aku tak kuasa menahannya. Tapi aku terus berusaha menghantamnya. Serupa ketika aku sampai dilembahan. Ketika momentumku habis, aku terus berusaha untuk naik menuju punggung bukit. Tapi aku tak bisa menggapainya. Aku tak kuasa. Adakah yang salah dari cara pandang itu?
Aku terus berfikir. Aku terus merenung. Memang apa yang salah dari cara pandang tersebut? Karena terbebani dengan keharusan untuk menuju laut secepatnya aku terus menghatam. Dan seringkali dengan menbabi buta. Itu berimplikasi langsung pada hidupku. ‘Aku’ sering terbebani oleh banyak hal. Impian-impian yang harus aku raih. Jalan yang sudah aku ‘buat’ yang harus kutempuh. Terjangan yang harus aku lakukan, tanpa melihat seberapa kekuatanku. Aku sering menipu diriku dengan mengatakan aku mampu. Meskipun itu membutuhkan waktu, tapi aku terus menerjang.
Seringkali, yang terpenting rintangan itu hancur. Meskipun kehancuranya akan berimbas kepada kehidupan orang lain. Sering kali aku terlalu ngoyo hingga kehabisan tenaga ditengah jalan. Sering kali aku menyalahkan keadaan, tanpa melihat diriku terlebih dahulu. Dan semua bermula dari ‘aku’ tersebut.
Disuatu titik aku menemukan sesuatu yang lain disana. Dari atas bukit aku lihat aliran sungai mengalir dengan derasnya menuju lautan. Bukankah asal dan tujuannya sama. Air disungai berasal dari gunung dan tujuanya adalah laut. Serupa ‘bola salju’. Berasal dari bukit dan menuju laut. Tapi kenapa ‘air’ seperti tanpa rintangan mengalir dengan derasnya. Setelah aku perhatikan dengan seksama, air bukanya tanpa rintangan. Ada banyak rintangan bahkan. Tapi mereka berkelok dengan anggun ketika menghadapi rintangan yang tak mungkin diterjang. Ketika mereka menghadapi batu yang kecil, mereka akan menggerusnya, sampai hilang. Disepanjang alirannya tumbuh subur semua tanaman. Bahkan hewan-hewan pun menggunakanya sebagai sumber kehidupan. Sesuatu yang indah. Dari yang mata air yang kecil. Menajadi muara yang besar. dengan menghadirkan kehidupan bagi yang dilewati.
Dan begitupun seharusnya ‘aku’. Ketika menghadapi rintangan yang luarbiasa, aku harus mencari celah. Celah yang memungkinkan aku melewati tintangan itu. Tanpa perlu bersusah payah menghancurkanya. Tanpa harus merusak yang lain. Tanpa harus menyalahkan yang lain.
Menjadi manusia yang fleksibel. Itulah ‘aku’ yang aku harapkan sekarang. Bukan orang yang kuat, tapi orang yang selalu tanggap dan mudah menghadapi perubahan. Orang yang terus menggeliat mengikuti roda kehidupan. Minimal tidak terdindas olehnya. Tidak terbebani jika sesuatu yang kita targetkan tak tercapai. Mungkin harus dengan jalan lain, dengan mencoba kembali, atau mencoba dengan cara lain. Ataupun ketika ada ‘sesuatu’ yang hilang atau ‘diambil’ oleh Nya. Akupun tak akan stress berkelanjutan. Bahkan mungkin bisa lebih bahagia, karena tanggungan itu akan mengurangi beban pikiranku.
Ketika menuju kesana pun aku harus bermanfaat bagi orang lain. Seringkali aku hanya memikirkan kepentinganku. Meskipun itu ‘merusak’ untuk orang lain. Dan itu terus berulang. Maafkan jika mungkin aku pernah ‘merusak’ kalian.
Sekarang aku mulai menuju kesana. Dengan begitu ‘aku’ lebih besyukur dengan apa yang ku peroleh. Tak ngoyo tetapi selalu berupaya.
Serupa dengan setengah gelas air. Sekarang aku melihatnya sebagai gelas setengah isi. Bukan gelas yang setengah kosong. Aku nikmati air yang setengah itu dengan nikmat. Senikmat-nikmatnya.
Aku harap itu terus terjadi. Ketika apapun ‘datang’ dan ‘pergi’ aku tetap merasa kenikmatan. Tanpa ‘nikmat’ dan ‘sakit’ yang berlebih. Semoga.

Jeda dan Waktu.

Seperempat abad sudah kulewati hidup. Ada senang, sedih, sakit, sehat, nikmat, sengsara, tangis dan sering kali tawa. Aku tahu berat memang tantangan kedepan. Aku tahu aku hanya salah satu pejalan hidup yang tak berarti apa”. Atau dalam bahasaku, From Nothing To Nowhere.
Aku rasai hidupku seperti mendaki pegunungan. Ada kala harus mendaki. Terjal dan berkeringat. Seringkali aku kepayahan dan harus sejenak berhenti. Ada naik, ada turun dan kadang mendatar. Aku nikmati semua itu senikmat-nikmatnya. Memang, kadang aku tak kuasa menahan berat beban di pundak. Jeda. Itu kata yang cukup mewakili. Dalam pendakian, sering aku harus berhenti. Sekedar untuk minum, melemaskan kaki dan melihat alam sekitar. Puncak gunung memang penting, tapi perjalanan yang mengasikkan seringkali lebih penting.
Serupa dengan itu. Hidup tak melulu tujuan, target ataupun cita-cita. Sering kali proses kesana begitu nikmat untuk dirasakan. Bahkan mungkin itu yang terpenting. Seringkali kita mendapat pelajaran didalamnya. Dan dalam proses itu aku sering kali kepayahan. Ketika itu jeda sering kali dibutuhkan. Untuk ‘men-charge’ semangat yang mulai memudar.
Aku tak muda lagi. Angka dua puluh lima adalah angka penting. Seringkali ulang tahun ke dua puluh lima dirayakan dengan pesta. Apakah itu umur seseorang, ataupun sebuah mahligai perkawinan. Duapuluh lima adalah milestone menuju pendewasaan. Karenanya tak seharusnya aku terus bersikap kekanak-kanakan. Meski terkadang itu perlu. Sekedar untuk istirahat sejenak dari proses pendewasaan yang menguras tenaga. Sekedar jeda sesaat.
Aku bersyukur kepada Tuhan. Dia masih mau memberi pada hampanya yang papa ini. Terlalu banyak nikmat yang Dia beri. Dan seringkali aku tak bersukur karenanya. Maafkan aku Tuhan. Maafkan aku yang selama ini menyianyiakan begitu banyak nikmatmu. Terutama waktu.
Waktu. Dimensi yang melengkapi dimensi ruang. Besaran yang ternyata sangat relatif. Seringkali aku merasa waktu itu pendek ketika membaca sebuah buku. Atau main game jaringan dengan teman-teman. Seringkali waktu itu terasa begitu panjang. Ketika harus berhenti dilampu merah ditengah hujan dan macet yang sangat. Atau menunggu seseorang yang telah lama dinanti.
Waktu, kata-kata pendek dengan berbagai makna. Dan Tuhan menganugrahkan kepadaku tanpa imbalan. Dia hanya minta pertanggungan jawab. Mulai sekarang, akan ku intensifkan penggunaanya. Itu mungkin wujud rasa syukur tertinggi yang bisa aku lakukan. Mengisinya dengan kegiatan positif dan membangun. Semoga.
Terima kasih Tuhan.

Tempat Baru.

Remang temaram malam sering kali mengalirkan rasa sunyi. Rasa sunyi yang membuat kesepian. Diperantauan ku yang kedua setelah Bandung, sering kali aku dihinggapi rasa sedih. Sedih kehilangan kegiatan rutin yang aku lakukan dirumah. Masak di dapur dengan ibu tercinta di pagi hari, ngopi di warung deket lapangan sama teman”, nongkrong dipinggir jalan dan bercanda bareng teman sekampung, bercengkrama dan diskusi bersama keluarga di ruang tengah, makan pagi masakan ibu yang lueezaat dan masih banyak lagi yang lain. Seringkali keinginan untuk merasakannya hadir dengan kuat. Entah kenapa.
Ada yang pergi ada pula yang datang. Ketika semua hal tadi melenyap, timbul hal” baru yang datang tanpa diundang. Candaan Rizki dan Anang “Pak Mori”Banyuwangi yang seringkali mengundang tawa. Anang Madura yang seringkali menghadirkan senyum dengan bahasa jawa logat madura yang kental. Mbak Yani dengan beberapa petuah bijaknya. Malik yang sunda(hore, ayeuna urang diajar basa sunda deui) yang harus banting tulang untuk membiayai kuliahnya sambil siangnya berkerja. Dia orang Tasik asli. Lulusan SMA 1 Indihiang, katanya dia adik kelas Indra L Bruggman. Irman dengan senyumannya yang khas. Riang yang seorang jebolan STM tapi jago banget utak-atik motherboard. Dan masih banyak yang lain.
Dalam kehidupan ada yang datang dan ada yang pergi. Silih berganti. Proses alamiah yang seringkali membuatku rasai sakit, nikmat, menderita ataupun bahagia. Aku tak tahu. Mungkin inilah proses pendewasaan yang harus dijalani. Adaptasi dengan tempat baru selalu menuntut kedewasaan. Dimanapun dan kapanpun. Banyak sekali hal baru yang seringkali tidak sesuai dengan keinginan. Tapi itulah hidup didunia. Seringkali tak sesuai dengan ekspektasi.
Hidup harus terus berjalan. Sesuai atapun tak sesuai. Aku hanya harus menjalaninya sebaik-baiknya, senikmat-nikmatnya. Tak perlu berharap telalu banyak. Tak perlu rasa cemas yang berlebih. Seperti kata sebuah iklan, Enjoy Aja!

Segarnya Udara Lereng Welirang (2)

Malam Hangat di Perkemahan yang Dingin

Akhirnya kami(aku dan temenku Nur Cahyo, selanjutnya aku panggil Cahyo) sampai juga di perkemahan temen-temennya. Mereka adalah staf pengajar dan siswa dari lembaga bimbingan belajar InLAC. LBB ini baru ada sekitar tahun 2005. Cahyo adalah salah satu staf pengajar pertama di LBB. Mereka sering ngadain acara seperti ini. Untuk refresing dan juga pengakraban. Kebanyakan staf pengajarnya lulusan jurusan Psikologi Untag Surabaya, termasuk Cahyo tentunya.
Sampai disana aku berkenalan dengan beberapa orang. Ada Brantas(kayak nama sungai aja, atau jangan-jangan lahir di tepi sungai), Alfin, Mahar, Yunita dan masih banyak lagi. Maap aku lupa oey. Mereka ini para staf pengajarnya. Mereka menyebut InLACru. Sedang yang junior antara lain Putri, Hany, Era, Imei dsb. Mereka disebut InLACers. Mereka kebanyakan datang dengan pasangan masing-masing. Memang tempatnya asyik banget buat pacaran. Cahyo yang sebenarnya juga pengen ngajak pacarnya gitu. Berhubung pasangannya nggak bisa, akulah yang ketiban sampur. Jadilah kamilah pasangan homo satu-satunya di situ. Hehehehe…
Berhubung dilereng gunung, udaranya dingin banget. Tapi asyik. Sudah lama aku tak merasakan dinginya udara pegunungan. Sejak dari Malang sekitar sebulan yang lalu lah.
Balik lagi ke anak InLAC. Mereka rata-rata ramah lho. Kami sempat ngobrol ngalor-ngidul. Ditemani kopi, teh hangat dan bebera bungkus makana ringan, obrolan jadi tambah asik. Tentang sejarah InLAC, ternyata yang punya adalah senior dari Bob Foster Nainggolannya GO. Tentang perjalan tadi siang yang mereka tempuh, tentang perjalanku yang sempat kehujanan dan masih banyak lagi.
Setelah ngobrol beberapa lama, Brantas dan Alfin ngusulin gimana kalo main game aja. Gamenya tentang penjahat dan polisi. Ada penjahat, ada dokter, ada polisi dan tentunya juga rakyat biasa. Dibantu dengan satu set kartu untuk memudahkan memainkannya. Gamenya adalah tebak-tebak untuk ‘membunuh’ penjahat. Jadi dipilih satu penjahat, dua dokter dan dua polisi. Tugas penjahat adalah memilih seseorang untuk ‘dibunuh’. Tugas dokter adalah ‘menolong’ orang yang dipilih oleh sang penjahat agar tidak terbunuh. Polisi ditugaskan untuk ‘mencari’ penjahatnya. Permainan selesai jika sang penjahat ‘tertangkap’ oleh polisi. Ketika kita menuduh seseorang, haruslah didasari sebab yang harus di argumentasikan. Itu melatih anak-anak biar berani mengeluarkan pendapat. Dan yang dituduhpun harus bisa membela diri tentunya. Game yang menghibur sekaligus edukatif.
Hampir tiga jam kami memaikan game itu. Tak terasa sudah ‘lewat tengah malam’. InLACer dan InLACru sudah banyak yang ngantuk. Akhirnya game kami sudahi. Tinggal aku dan beberapa anak saja yang masih ‘idup’. Ditemani kopi dan rokok kami terus ‘mengidupkan’ suasana.. Sembari jaga” tentunya. Karena banyak sekali anak yang camping disini. Dan di bawah tempat kami ada beberapa anak yang minum” gitu.
Dingin makin terasa di kulit. Dan bodohnya aku, jaket satu-satunya yang aku bawa, aku pinjemin(maap, emang aku bego dari orok!). Dan tas yang didalamnya ada sarung yang aku bawa terselip di tenda entah yang mana(kebegoan kedua). Mana nggak bisa lihat” tenda. Udah pada tidur semua. Terpaksa aku cuma pake celana dan kaos lengan pendek doang.
Sekitar jam dua, ada seorang anak yang sakit. Shinta namanya. Kelihatanya dia kena hypothermia. Banyak yang panik gitu melihat keadaan Shinta. Sebenarnya aku nggak enak bantuin. Takut nyampurin urusan internal mereka. Tapi berhubung yang lain pada panik, terpaksa aku bantuin. Setelah beberapa saat kemudian kesadaranya mulai pulih. Hampir setengah jam kami ‘merawat’ Shinta. Dengan peralatan seadanya tentunya. Setelah agak mendingan, dia dirawat ma cewek” di tenda.
Sekitar pukul 3.30 rasa kantuk menyapaku. Aku pejamkan mata diatas jas hujan yang aku pinjam dari mereka(aku datang tanpa persiapan. Cuma bawa sarung, eh terselip. Bawa jaket malah dipinjemin! Bego!!). Segera aku ‘berlayar’ dengan ‘peralatan’ seadanya. Tak terasa aku bangun kembali. Kebelet kencing penyebabnya. Jam di hapeku menunjukkan 05.05. Aku segera beranjak ke kamar mandi.
Anak-anak yang lain masih banyak yang terlelap. Dinginnya minta ampun, jadinya enak buat tidur pake selimut didalem tenda. Sedang Cahyo masih saja terlelap sedari selesai game polisi-polisian semalem.
Matari mulai menyeruak dibalik gunung. Pertanda pagi mulai menjelang. Meskipun musim penghujan, tapi hujan tidak turun tadi malem. Semua acara kami semalam berjalan lancar. Thanks God!

Segarnya Udara Lereng Welirang (3)

Air Terjun Dlundung dan Penatnya Kehidupan.

Anak-anak InLAC mulai keluar dari tendanya masing-masing. Jam di hapeku nunjukin 06.08. Cahyopun baru keluar dari tenda yang dia tumpangi. Sambil meminum kopi aku nikmati udara pagi yang segar ini. Polusi dan panas udara Surabaya telah membuatku merindukan hal ini dengan sangat. Seringkali karena tuntutan hidup kita akan berkorban dan mengorbankan apapun.
Kadang akui piker kenapa kita tebangi hutan yang sangat berguna buat kita. Tuntutan kebutuhan ekonomi selalu jadi alasan. Meski menurutku itu sebuah keserakahan bukan kebutuhan. Seharusnya kita bisa menghadirkan udara segar seperti ini di kota. Jika kita lebih bijak terhadap alam tentunya.
Pagi ini akan diadakan outbond mengelilingi daerah sekitar air terjun. Akupun didapuk sebagai volunteer bersama beberap InLACru. Ada tiga pos yang harus dilewati peserta. Aku mendapat tugas jaga dipos satu.
Para InLACer dibagi menjadi dua kelompok. Untuk memudahkan pengawasan tentunya. Peserta diminta meleweti semua pos yang ada. Dan disetiap pos, setiap regu akan diminta untuk menjawab pertanyaan. Ketepatan jawaban, ketepatan waktu dan kekompakan tim yang akan dinilai.
Gerimis mendatangi lereng Welirang. Hal itu tak menyurutkan semangat InLACru dan InLACres. Acara yang dimulai jam 7.30 selesai jam 9.30.
Setelah semua selesai, kami segera berkumpul kembali di camp. Setelah musyarawarah untuk menentukan jam pulang kami segera berangkat ke air terjun Dlundung. Tidak terlalu istimewa. Tapi lebih dari cukup untuk mengurangi penat pikiran. Beberapa InLACer mandi dan berfoto di air terjun. Aku hanya melihat dari pinggir. Sembari melihat orang yang terus berdatangan. Hampir semuanya berpasangan. Jadi iri oey. Tapi tak mengapa, kan udah biasa ngejomblo. Hehehehe…
Setelah puas memandangi air terjun yang tak berubah-ubah(emang mau berubah gimana lagi) aku segara beranjak menuju camp. Jarak antar camp dan air terjun sekitar lima ratus meter. Selepas tangga aku dan Cahyo sempat mampir di warung bakso. Sekedar untuk mengisi perut yang sedari tadi cuma terisi kopi dan roti.
Selesai makan aku segera beranjak ke camp. Rombongan akan balik jam setengah dua. Karena kami pengen balik sekitar jam dua belasan, terpaksa kami nggak bisa pulang bareng. Kami segera pamit dan beranjak pulang. Segera kupacu motor menelan aspal-aspal lereng Welirang.
Di kanan-kiri aku lihat banyak sekali anak-anak manusia sedang asyik memadu asmara. Memori itu mengingatkanku pada masa-masa SMA. Masa hidup yang paling indah. Hampir tanpa beban hidup. Yang melingkupi hanya kesenangan yang bersambung tiada habis. Sesampai di jembatan kali Porong daerah Mojosari aku berhenti sejenak. Jembatan itu sedang dibangun. Ditambah satu lagi. Sebagai jalan alternatif dari arah timur Jawa ke arah barat tanpa melewati Lumpur Panas Lapindo. Selain memberi efek negatif, ternyata Lumpur juga memberi efek positif, walau hanya sebagian. Mojosari salah satunya.
Selepas Pabrik Tebu Tulangan kami berbelok mengikuti alur sungai sudetan Kali Porong. Air mengalir dengan jernih. Tembok” tebal yang menyikupi sungai berdiri kokoh tanpa retak. Untuk masalah pengairan Bangsa Belanda Memang luar biasa. Salut.
Jalannya sempit dan banyak sekali polisi tidur. Tapi lumayan sepi. Eh keluar-keluar udah deket pasar Larangan Sidoarjo. Lumayan menghibur ditengah badan yang mulai memenat.
Aku segera memacu motor di atas jalan aspal Sidoarjo-Surabaya. Siang itu terasa begitu terik. Badanku masih adaptasi. Dari tempat dingin ke tempat panas. Sesuatu yang menyiksa tentunya. Badanku yang mulai didera kantuk dan lelah mulai sulit diajak kompromi. Cahyo yang aku bonceng, berkali-kali tidur. Hal itu seringkali membuyarkan konsentrasiku terhadap jalan. Terpaksa aku jalan lebih pelan. Jam satu lima belas akhirnya sampai juga aku dirumah Cahyo. Dia langsung tertidur begitu sampai dirumah. Sedang aku yang minta diantakanya ke kosan terpaksa menunggu dia bangun. Sembari menunggu aku minta ijin untuk mandi. Badaku yang sedari kemarin tak tersentuh sabun minta untuk diperhatikan. Selesai mandi akupun menyusul Cahyo tidur. Badanku tak bisa dibohongi. Jam setengah lima aku bangun. Karena Cahyo sibuk dengan pacarnya, terpaksa aku diantakan adiknya menuju kosan. Tak terasa badanku masih ingin tidur kembali. Kurebahkan sejenak di kasur butut kamarku.
Aku bermimpi alangkah indahnya jika kita bisa menghadikan kesejukan itu di kota ini. Mall-mall yang terus bertebaran tanpa menyisakan ruang terbuka publik, seakan menyesakkan jiwa. Seringkali kita harus berjuang jauh untuk mendapatkan sesuatu bernama udara segar. Sesuatu yang terasa mewah bagi kita tapi tidak untuk mereka penghuni lereng Welirang. Terima kasih Welirang, suatu saat aku akan kembali. Dengan ijin Tuhan tentunya. Entah kapan!

Jumat, Desember 07, 2007

Segarnya Udara Lereng Welirang.

Perjalanan yang melelahkan

“Dingin banget oey!!” Kata ini terucap ketika motor Honda Supra 125R yang aku kendarai tiba di daerah Wana Wisata Air Terjun Dlundung sekitar pukul 21.00 tanggal 1 desember 2007. Terletak di lereng utara Gunung Welirang di ketinggian sekita 1500 meter dpl. Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto tepatnya.

Berarti sekitar 2 jam waktu yang aku butuhkan untuk menggilasi jalan Surabaya-Dlundung. Aku berangkat dari Surabaya sekiar jam 17.30. Jalanan macet luar biasa. Ini waktunya orang bubaran kantor. parahnya, temenku sempat cek-cok dengan pacarnya. Dia ijin mendadak gitu ke pacarnya. Trus pacarnya marah-marah. Setelah berdebat sekitar 30 menit akhirnya dia dapat ijin juga. Sebenarnya ini acara temenku tersebut. Sebuah LBB di Sidoarjo bernama InLAC yang dulu tempat dia berkerja ngadain acara outbond gitu. Karena temenku nggak jadi ngajak pacarnya, ya akhirnya ngajak aku. Hehehe… ya cuma serep sih…

Melewati jalan Daendels dari daerah Wonokromo-Surabaya ke selatan sampai Candi-Sidoarjo, aku berbelok arah. Dan ternyata kami salah berbelok. Harusnya sekitar 500 meter lagi, baru belok ke arah barat. Setelah ketemu masjid kami sholat dulu. Sekitar lima belas menit kami disini. Segera kami beranjak menuju mojosari. Setelah memutar kami langsung tancap gas kearah barat, ke daerah Tanggulangin. Kami lewati daerah sentra Tas dan Sepatu Kulit di daerah tersebut yang menyepi gara-gara lumpur panas yang lebih beken disebut Lumpur Lapindo tersebut. Setelah melewati kawasan itu kami berbelok kerah selatan, melewati jembatan layang diatas Tol Surabaya Gempol. Disini, beberapa hari yang lalu sempat meninggal dua orang pesepeda motor, gara-gara kunduran truk tua yang tidak kuat menaiki jalan layang tersebut. Sungguh tragis, nyawa di negeri ini sering dikorbankan oleh masalah-masalah sepele.

Sekitar lima belas menit kami sampai didaerah Tulangan. Sosok Sanikem atau Nyai Ontosoroh di tetralogi Buru menghayal di memoriku. dia berasal dari daerah ini. Ekonomi daerah ini digerakkan oleh industri tebunya, dari hulu sampai hilir. Persis sperti cerita Pram.

Aku terus mempercepat lari sang motor. Sampai juga di daerah Mojosari. Pembangunan di daerah ini menggeliat dengan hebat akibat Lumpur Lapindo. Jalur Mojosari memang jalur alternatif utama jika tak ingin melewati kawasan Lumpur. Jalanan dan juga jembatan dilebarkan setiap hari. Ternyata ada imbas positif juga dari Lumpur itu, meski cuma beberapa saja.

Di jalur Mojosari-Trawas yang menanjak, cuaca kurang bersahabat. Hujan turun, memaksa kami berteduh di sebuah warung. Dasar perut juga sudah lapar, kami segera memesan es teh dan nasi goreng. Sekitar 45 menit kami berhenti. Hujan menunjukkan internsitas yang makin berkurang. Kami segera beranjak. Udara yang mulai dingin tak menyurutkan niat kami. Motor segera aku pacu di jalan yang menanjak terus-menerus, tak kami temui jalan menurun, maklum kan lagi kedataran yang lebih tinggi. Hehehe…

Akhinya sampai juga di pos penjagaan. Ini yang bikin nggak maju pariwisata Indonesia, mereka sangat tidak ramah terhadap kami. Ramah aja nggak apalagi informatif, dan ini aku temui hampir disetiap tempat pariwisata. Hanya beberapa yang tidak. Jadi selain obyek wisata, tentunya SDM yang begelut didalamnya harus ditingkatkan juga.

Aku segera mencari rombongan InLAC tersebut. Setelah putar-putar dan nggak ketemu, hehehe… temenku inisiatif menelpon. Setelah diberitahu tempat pastinya akhirnya ketemu juga. Mbok ya dari tadi nelponya mas!! Biar nggak capek nyariinnya. Hehehe…

Jumat, November 23, 2007

Taman Tempat Memendam Rindu

SETIAP kali ada pergeseran musim, terutama dari musim kemarau ke
musim hujan, mendadak sontak ada kegembiraan yang muncul. Setiap mata
yang dibekali kejernihan, setiap telinga bersahabat dengan kepekaan, setiap rasa yang sering bersahabat dengan getaran-getaran semesta, melihat munculnya kegembiraan ketika musim hujan datang.
Kegembiraan ini memang tidak disertai oleh tepuk tangan, tidak
diikuti suara musik, apalagi pemberian piala. Sekali lagi, hampir tidak ada hiruk pikuk di sana. Yang ada hanyalah ungkapan kegembiraan sebagai cermin rasa syukur yang mendalam.
Perhatikan pohon apa saja. Lengkap dengan akar, batang, daun, bunga sampai dengan buah. Wajahnya berbeda ketika musim hujan datang.
Bahkan dibandingkan dengan pohon yang disiram tangan manusia tiga
kali sehari pun, berbeda penampakannya.
Tidak saja daun dan bunganya yang bertambah banyak, melainkan
kualitas ekspresi daun dan bunganya juga berbeda. Tidak saja akar yang memeluk tanah yang tampak gembira, bahkan tanah tempat banyak sekali hal berasal juga seperti menampakkan wajah-wajah gembira. Sehingga dalam totalitas, ketika musim hujan tiba, seperti ada yang bersuara di taman sana.
Ada yang menyebutnya suara rindu, ada yang mengiranya sebagai
ungkapan rasa syukur, ada yang mengatakan kalau itu sebentuk perayaan.
Entahlah, yang jelas alam yang berumur jauh lebih panjang dari manusia sebenarnya menghadirkan makna jauh lebih banyak dari sekadar alasan keberadaan fisik manusia.
Memang benar, hampir semua input kehidupan manusia datang dari alam. Makanan, minuman, dan bahkan pemikiran manusia pun sebagian berasal atau terinspirasi dari alam. Disinari cahaya-cahaya pemahaman seperti ini, ada sahabat yang berbisik: alam ada lebih dari sekadar alasan phisical survival. Alam juga menjadi petunjuk jalan yang meyakinan ketika manusia hendak pulang.
Tersentak oleh bisikan sahabat kejernihan terakhir, ada sepasang mata yang mencermati, bagian mana dari alam yang bisa menjadi petunjuk
jalan manusia untuk pulang.
Pohonkah, batukah, tanahkah, langitkah, matahari, atau malah
binatang. Karena semuanya memiliki bahasa yang berbeda dengan manusia, tentu saja semuanya tidak bisa memberi jawaban dalam bahasa manusia.
Sebagian lebih dari jejaring semesta bahkan hanya mengenal bahasa hening dan diam tanpa penghakiman. Seperti mau berbisik: hening dan diam tanpa penghakiman itulah jalan-jalan penghantar manusia untuk pulang.

Ikhlas
Sebutlah guru kejernihan yang bernama pohon. Ia tidak pernah berhenti berjalan dengan sebuah bahasa: ikhlas! Hujan datang, musim kering yang panas, tanah yang subur, tanah yang kerontang, bahkan di depan manusia yang mau menghabisi, atau bahkan di depan kematian pun
modalnya sama: ikhlas!
Bunga juga serupa. Begitu tugasnya menebar bau wangi selesai, ia layu kemudian jatuh ke tanah untuk melakukan tugas berikutnya sebagai pupuk.
Air apalagi. Sejauh apa pun jalan yang harus ia tempuh, tugasnya sebagai pejalan kehidupan tetap ia lakukan sepenuh hati. Terlebih tanah yang kerap disebut Ibu Pertiwi. Ia hanya mengenal sebuah bahasa: memberi. Tidak ada protes tentang hasil di sana, wacana, apalagi perlawanan. Yang ada hanyalah ketekunan melakukan semua tugas-tugas kehidupan. Sekali lagi seperti mau berbisik, lakukan tugas-tugas kehidupan dengan tekun. Biarkan hasilnya ditentukan sepenuhnya oleh yang punya hidup.

Taman Kehidupan
Ini soal taman di pekarangan rumah, sebenarnya ada taman yang lebih besar dan megah: kehidupan. Serupa dengan taman sebenarnya, kehidupan juga mengenal perubahan dan perayaan. Perubahannya tidak perlu diceritakan karena sudah terlalu jelas.
Namun perayaannya, inilah bedanya dengan taman. Taman melakukan
perayaan hampir setiap hari di setiap perubahan. Taman kehidupan manusia baru ada perayaan kalau perubahan 'sesuai' dengan kriteria-
kriteria di kepala.
Taman tidak mengenal kompetisi, baik untuk alasan pertumbuhan ataupun alasan lain. Tidak ada satu pun batang pohon yang sikut menyikut di taman. Sedangkan taman kehidupan memerlukan kompetisi. Terutama karena alasan pertumbuhan. Seolah-olah tanpa kompetisi pasti tidak ada pertumbuhan.
Belajar dari taman kehidupan yang sudah mulai demikian panas dan
sumpeknya oleh perang, konflik, permusuhan, dan perceraian. Ada sahabat-sahabat di pojokan tertentu taman kehidupan berfikir lain: in
the garden of mystics, there is no I, she or he. There is only we and
us. Seeing our selves as islands is the cause of our inability to
find the fullest experience of life. Setidaknya itu yang ditulis
Wayne W. Dyer dalam Wisdom of The Ages.
Di taman kehidupan, memang tidak ada pulau. Yang ada hanyalah
jejaring kebersatuan yang saling kait-mengait. Siapa saja yang mendirikan pulau 'saya' di sana, ia pasti mengalami kesulitan untuk
mengalami hidup yang penuh. Persis seperti setetes air. Setetes air
memang bisa melakukan hal yang teramat sedikit. Jangankan menghanyutkan sesuatu, mengobati rasa haus pun jauh dari cukup. Cuma, ketika setetes air tadi bersatu dengan samudera, ia memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Hal yang sama terjadi dalam setiap kehidupan yang menjadi satu dengan kebersatuan. Ia sedahsyat samudera! Dalam keadaan demikian, bisa dimaklumi kalau ada yang menyebut taman kehidupan dengan sebutan taman tempat memendam rindu. Rindunya setetes air bersatu dengan samudera.

Disarikan dari tulisan Gede Prama

Waktu

Gunakan Waktu Luangmu sebelum datang Waktu Sempitmu
Gunakan Waktu Sehatmu sebelum datang Waktu Sakitmu
Gunakan Waktu Mudamu sebelum datang Waktu Tuamu
Gunakan Waktu Hidupmu sebelum datang Waktu Matimu


Waktu, kata yang sangat familiar ditelinga kita. Sesuatu yang sangat penting bagiku sekarang. Tetapi aku terlalu sering menyianyiakanya. Mungkin banyak hal bisa kita beli didunia ini. Tapi hal ini tak berlaku buatnya, walau sedetikpun. Meskipun aku tahu hal tersebut, tetapi apa yang kuperbuat? Aku terus menyianyiakanya lagi. Entah dengan perguncingan bahkan fitnah, menonton film-film unyil, nongkrong dipinggir jalan sambil suit-suit cewek yang lewat, minum-minuman beralkohol, dan banyak hal negatif lain.
Mulai sekarang, cara pandangku harus kuubah ketika melihatnya. Begitu sering aku menyianyiakan bahkan membuangnya. Kadang dengan tidak sadar, dan seringkali dengan kesadaran penuh. Aku tahu aku salah. Dan semua berulang begitu saja. Banyak hal-hal menarik dan nikmat yang membuaku menyianyiakannya. Alasan klise itu yang selalu terlontar ke pedalamanku jika “dia” berontak.
Aku harus berubah, dan perubahan itu harus sekarang juga. Aku berjanji tak akan menyianyiakanmu lagi, apalagi membuangmu. Akan kuisi penuh “kau”. Intensifikasi umur, istilah sang maestro, Dahlan Iskan. Aku terlalu banyak berhutang kepada “mu”. Dan aku yakin aku mampu melakukanya. Aku yakin.
Terima kasih Tuhan, yang masih memberikan “kau” kepadaku. Aku harus bersyukur kepada Tuhan dengan mengisimu sebaik-baiknya, semanfaat-manfaatnya, sekuat tenagaku. Aku janji kepadamu Tuhan. Janji seorang hamba yang mulai mencarimu dari sekarang.

Wanita

Seringkali sebagai cowok aku sulit memahami mereka. Banyak sekali hal-hal yang mereka perlihatkan sebagai sinyal untuk menyampaikan suatu hal saja. Dan sering kali aku salah menafsirkannya. Begitu bermacamnya sampai-sampai sering kali aku jengkel. Itu membuat aku jadi makin bingung dengan sinyal-sinyal tersebut.
Sekarang aku sedang pdkt dengan seseorang. Dia masih kuliah. Aku bingung harus berbuat gimana teman. Dia sekarang sudah punya pacar. Dan pacarnya kelihatanya sih “better than me”. Aku pernah mengalami jatuh cinta sekuat ini sebelumnya. Dan sangat susah untuk menghilangkannya.
Tetapi, ini yang mungkin bisa menjadi kontroversi. Pedalamku mengatakan bahwa aku harus terus memperjuankanya. Tetapi dia sudah “milik” orang lain. Dan salahkah aku pdkt kepada pacar orang lain?
Aku takut sekali kehilangannya. Itu membuatku serba salah menghadapinya. Ketika berbuat apapun terhadapnya aku harus berfikir berkali-kali. Bagaimana akibatnya entar terhadapnya. Atau jangan-jangan itu membuat dia marah.
Aku berkonsultasi kepada beberapa teman. Ada empat versi pendapat dari mereka. Yang pertama. Cari aja cewek lain. Emang cewek cuma dia doang, masih banyak boo!! Sekarang ini cewek lebih banyak dari cowok. Nyantai aja. Pokoknya cari aja yang lain. Yang kedua. Sekarang nggak usah mikirin cewek dulu. Udah mikirin nyari duit aja. Kalo kehidupanmu udah “bagus dan mapan”, cewek bakal datang sendiri kok. Pikirin nyari duit. Yang ketiga. Maju terus!! Jika kamu yakin dengan dia, pdkt terus. Dia akan menilai keseriusanmu kok. Dan dia akan berfikir. Apalagi dia baru pacaran, belum nikah kan?? Maju terus ya, kamu pasti bisa kok!! Yang keempat. Pacaran itu dilarang. Tidak ada dalam islam istilah tersebut. Jadi setelah pengenalan, kalau cocok langsung nikah. Begitu. Jadi nggak usah main pacaran-pacaran gitu!! Itu bisa menimbulkan dosa tau!! Jadi jangan pacaran-pacaran nggak jelas gitu dech!!
Mungkin teman-teman bisa ngasih usulan, pencerahan, “tips and trik” atau apa saja berkaitan dengan “masalah” ku ini. Kalau bisa sih para kaum hawa, karena aku udah banyak konsultasi ke kaum adam. Tapi kaum adam pun nggak papa kok. Thanks ya sebelumnya!!

Menulis

Menulis

Aku tak tahu apakah aku bisa menulis dengan baik. Tapi yang aku tahu, hidupku akan susah tanpa menulis. Itu mulai aku rasakan setelah kelar kuliah. Aku sering menemukan jiwaku dengan menulis. Aku hanya ingin menulis. Entah enak dibaca atau tidak. Aku tak tahu. Tapi aku akan terus belajar untuk memperbaiki tulisanku.
Seringkali tulisanku berhenti ditengah jalan. Aku terlalu lemah menghadapi “kerikil” kesulitan. Aku seringkali mengalami kebuntuan waktu menulis. Tapi aku akan terus melaju dan melaju. Aku lihat sinar putih di lorong kegelapan tulisanku.
Juga, seringkali tulisanku tak berdaya melawan egoku. Banyak sekali tulisanku yang sesuai dengan pedalamanku, tapi tak sesuai dengan kelakuanku, yang bejat dan bangsat. Didalamnya timbul pertentangan, kegelisahan dan bahkan dendam. Dan itu menjadikan energi menulisku mengalir kembali.
Mungkin aku seorang pendendam. Pendendam terhadap segala hal. Terutama dendam terhadap segala “pelecehan hidup” yang sering aku dapatkan. Dan aku harus menyalurkan energi dendam itu dengan positif. Salah satunya dengan menulis.
Banyak orang bilang, menulis itu gampang. Menulis itu pekerjaan sepele, pekerjaan orang yang nganggur. Tapi aku berbeda dengan untuk hal ini dengan mereka. Menulis itu pekerjaan berat, nggetih dan menguras energi. Menulis itu butuh komitmen. Dan itu yang belum aku punyai.
Aku harus belajar berkomitmen dari sekarang. Aku tak boleh lagi menghindar dari segala komitmen yang ada didalamnya. Banyak hal-hal didunia yang melenakan. Aku tahu, komitmenlah yang membuat orang-orang besar berhasil. Karena komitmen itu akan menimbulkan konsistensi, dan konsistensi itulah yang membuat keajaiban-keajaiban terjadi.
Aku harus terus menulis dan menulis. Tanpa menunggu “mood dan ide” datang. Aku yakin ide akan datang seiring dengan perkembangan tulisanku. Selain itu untuk memperkaya “mood dan ide” aku harus terus membaca dan belajar.

Senin, November 19, 2007

Meretas Asa Di Tapak Bima(1)


Ceceran keringat...

Pendakian ini sebenarnya sudah aku rencanakan sejak lama. Pendakian masal ke Gunung Tapak Bima. Aku ingin mengenalkan sosok gunung ini pada para penggiat alam bebas. Selain untuk pelestarian hutan, siapa tahu jika gunung ini terkenal, penduduk sekitarnyapun akan mendapat imbas positifnya. Terutama imbas ekonomi. Peningkatan tingkat ekonominya. Meskipun untuk seramai gunung Lawu akan sangat sulit. Gunung Tapak Bima berada sekitar tigapuluh kilometer dari Madiun dan duapuluh kilometer dari Ponorogo. Kearah tenggara untuk Madiun dan Timur Laut untuk Ponorogo. Gunung ini berada di gugusan pegunungan Wilis bagian Barat. Merupakan puncak tertinggi di gugusan barat tersebut sekitar 2000 meter. Kalau di gugusan timur, puncak tertingginya gunung Liman sekitar 2500an meter. Tapak Bima bisa dilalui dari dua jalur, Jalur Mendak atau Pesanggrahan di Madiun dan Jalur Ngebel di Ponorogo. Aku sebut sama antara jalur pesanggrahan dan mendak karena jalur pesanggrahan yang lebih jauh akan melewati jalur mendak juga. Makanya sekarang jalur pesanggrahan jarang dilewati. Rata-rata para pendaki langsung motong di jalur di mendak yang lebih atas. Lumayan sekitar satu jam perjalanan. Diantara kedua rute tersebut, rute paling nyaman/mudah adalah rute Telaga Ngebel Ponorogo.
Hari yang kami rencanakan sebenarnya adalah hari rabu, H+5 lebaran. Tapi berhubung terlalu mepet, diundur hari kamisnya. Kamis pagi naik, jumat pagi turun. Jumatan di desa Mendak. Selesai jumatan langsung pulang.
Seminggu sebelum lebaran, ada wacana baru, anak-anak mau naik hari sabtu, H+7 lebaran. Katanya beberapa anak dari Ponorogo dan Dolopo (golongannya Lina, baca: Lintas Bumi Mojopahit) akan ikut juga. Tapi mereka nggak memberi kepastian pada kami. Setelah berdebat sengit, kami tidak menemukan kata kata sepakat. Aku udah rencanakan jauh-jauh hari untuk mendaki hari kamis. Terpaksa aku akan naik berdua saja. Dengan temanku yang lain, Edi. Kalaupun Edi nggak mau, ya terpaksa melakukan pendakian solo. Ya untuk latihan mental lah. Udah lama aku nggak ngelakuin pendakian solo.
Anak Ponorogo dan Dolopo membatalkan janjinya pada malam takbiran. Terpaksa anak-anak berembug lagi. Aku tak ikut dalam rembukan tersebut. Aku sudah mantap untuk mendaki hari kamis, dengan atau tanpa teman. Diputuskan pendakian dilakukan hari kamis. Yah, akhirnya aku tidak mendaki solo. Sedikit menyesal. Tapi tak apalah, lain waktu mungkin.
Pendakian dibagi dua klodak (kelompok pendakian), pagi dan sore. Yang pagi lewat jalur Pesanggrahan, yang sore langsung lewat jalur Mendak.
Kamis pagi jam enam, Tharom(baca: Lintas Bumi Mojopahit) sudah kerumahku. Dia konfirmasi masalah keberangkatan. Aku segera packing barang. Jam tujuh aku sebenarnya udah siap, tapi justru anak-anak yang lain yang belum siap. Katanya rombongan pagi ada delapan orang. Aku, Edi, Tharom, dan yang lain aku belum kenal.
Jam delapan kami sudah pergi ke daerah Pintu, Dagangan. Tempat nyari omprengan menuju jalur pesanggrahan. Setelah menunggu cukup lama anak-anak yang lain belum datang juga. Terpaksa aku nyamperin mereka. Di konter HP milik Eli yang berjarak sekitar sekilo dari tempat mencari omprengan. Disinilah biasanya anak-anak melakukan rapat. Inilah base camp kami. Disitu baru ada satu orang yang akan berangkat pagi, Robert alias Sodik. Robert ini anak Ponorogo satu-satunya yang datang.
Sekira setengah jam, rombongan yang lain baru datang(kambing!!! budaya ngaret seperti inilah yang membuat kita banyak membuang waktu untuk hal-hal yang nggak perlu), Gian, Yudi, Andik, dan Samsul. Setelah ngumpul semua di counter hp milik Eli(dia akan ndaki sore), kami segera nyari omprengan. Dapet sih, tapi omprengan ngetem dulu(ini juga buang-buang waktu!!). Nunggu penumpang yang lain katanya. Penumpang yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Setelah kami desak, akhirnya pak sopirnya mau juga. Kami langsung diantarnya ke Pesanggrahan. Titik awal pendakian.
Tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan sang mobil untuk membelah jarak Pintu-Pesanggrahan. Kami kena empat puluh ribu. Sebenarnya mereka minta enampuluh ribu, ya kami nego dong. Masih banyak omprengan yang lain jika dia tiada mau.
Begitu sampai pesanggarahan kami langsung berangkat. Pesanggarahan berada sekitar 600 mdpl. Terdiri dari hutan pinus dan diselingi tanaman-tanaman produktif yang dikelola oleh penduduk setempat.
Siang itu udara terik sekali. Ubun-ubunku rasanya mau merekah. Tetapi itu tak menyurutkan langkah kami. Sesampainya dilembahan, disungai pertama yang kami lewati, kami istirahat. Capek juga sih. Sekira lima belas menit tak ada haiwan yang nampak. Monyetpun tiada. Padahal sekitar sepuluh tahun yang lalu di kawasan pesanggrahan sering sekali aku temui kawanan monyet. Dulu tempat ini adalah kawasan orang-orang bermadu kasih(baca:pacaran), dan aku salah satunya. Hehehe… Setelah puas beristirahat kami segera melanjutkan perjalanan.

Kami sempat kehilangan jalan. Kelihatanya jalur ini sudah lama tak dilalui. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya ketemu juga jalur yang dimaksud. Sekira satu jam kami berjalan, sampai juga di desa terakhir. Dusun Gedangan, Desa Mendak di Kabupaten Madiun dan Dusun Semenok, Desa Ngebel di Kabupaten Ponorogo. Dua dusun ini hanya dipisahkan oleh sungai kecil. Dua-duanya bisa dilalui. Tapi lewat dusun Semenok jalannya lebih lebar, karena sering digunakan oleh para pendaki.
Kami istirahat di dusun Semenok, untuk mengisi perekalan air dan untuk mengisi perut kami yang mulai keroncongan. Tharom dan Gian tadi bawa nasi dua bakul, satu untuk di sarapan di Semenok, dan satunya waktu sampai puncak. Kami segera istirahat di bawah pohon. Perbekalan segera kami buka. Tinggal makan aja. Lewat penduduk setempat. “Dik di bawah itu ada kakus.” Anjrittt, sapi perah!!!! Dia nyuruh kami pindah ketempat yang lebih layak. Pantesan dari tadi baunya kok nggak enak gitu, Kampret!!. Udah terlanjur basah. Dibawah bayang-bayang bau dan isi kakus, makanan kami sikat habis. Bahkan daun pisang yang jadi alasnyapun hampir kami sikat jua.

Setelah persiapan semuanya selesai, pukul 12.30 kami berangkat dari Semenok. Jalan awal sih landai banget, datar gitu. Setelahnya kami menemui tanjakan pertama.
Cukup lumayan. Kampring!!! Dengan kemiringan sekitar limapuluh derajat. Badan serasa dibebani tubuh yang luar biasa berat. Baru sepuluh langkah istirahat, lima langkah istirahat, begitu seterusnya. Akhirnya sampai juga dipersimpangan jalur. Tempat landai, yang biasa kami sebut pos satu. Sekira pukul 13. 45. Kami istirahat lima menit. Kami saling tertawa. Melihat teman-teman kelelahan dalam kebersamaan, membuat kami semangat kembali.
Reco Macan adalah tujuan berikutnya. Biasa kami sebut pos dua. Disini sebenarnya tiada Reco(Arca). Yang ada cuma kumpulan batu-batu besar tak beraturan yang mirip orang bersila. Alkisah menurut penduduk, dulu di batu-batu itu sering nampak macan(harimau) bertengger diatasnya. Makanya penduduk sekitar menyebutnya Reco Macan(arca yang sering di singgahi macan, atau arca yang seperti macan, atau apalagi ya?? Arca yang pacaran ma macan!!!hehehehe…) Kami sampai di Reco Macan 14.00. Sekitar lima menit kami istirahat. Disitu kami sempatkan bercanda. Terutama untuk memompa semangat teman-teman yang mulai meluntur, mengikuti fisik yang makin melemah. Tetapi melihat hijaunya hutan, membuat semangat kami bangkit lagi.
Puncak Tapak Bima sudah menunggu kami. Segera kami beranjak. Dengan semangat empat lima, (kenapa harus empat lima, kenapa nggak semangat dua delapan, pas tahunnya sumpah pemuda ya?? Atau semangat 2007??) Gian memimpin pasukan. Menyusuri ilalang yang lebih tinggi dari tubuh kami. Badan beret terkena ilalang, beban menggantung dipundak, peluh membasah, tak mematahkan asa kami. Tubuh makin lelah, jalan makin menanjak, memaksa kami untuk sering istirahat. Kami sampai di pos tiga, tempat landai terakhir sebelum puncak, pukul 15.05. Jarak pos tiga dan puncak cukup dekat. Tapi karena badan yang makin kelelahan, jadi terasa sangat lama.
Setelah berjalan tertatih-tatih(biar dramatis), berdarah-darah(kan beret-beret kena daun ilalang) dan megap-megap(cause udaranya mulai tipis), akhirnya sampai juga kami di puncak. Angka di hp menunjuk 15.30. Kami langsung rebahan kelelahan. Kami sampai puncak secara bersamaan. Delapan orang sekaligus, tanpa ada yang kececer satupun. Dan rasa lelah itu terbayar sudah. Thanks God!!!

Seringkali keberhasilan itu harus dilalui dengan jalan berat. Jalan menanjak, penuh rintangan penuh onak dan duri. Kadan perlu nggetih dalam prosesnya. Tapi seringkali juga, didalam proses yang berdarah-darah tersebut kita menemukan kenikmatan. Kenikmatan yang tidak kita dapat jika kita berada di “comfort zone”. Kenikmatan yang Tuhan berikan seiring dengan kerja keras kita.



Kamis, November 15, 2007

Malang Kota Bunga

Tadi pagi malang ujan abu gitu. entah dari gunung semeru atau gunung kelud, aku nggak tau. kelihatanya sih dari gunung semeru.
aku udah seminggu ini di malang. rencananya sih cuma 3 hari aja di malang. kasihan surabaya, terlalu lama aku tinggalin. tapi aku lagi menikmati kota malang dengan segala positif dan negatifnya...
aku cuma bisa I Love Malang very much!!!

Selasa, November 13, 2007

Welcome to Silence Road

Ketika tulisan ini terbaca... Ini saatnya aku harus menulis...
Berkreasi dengan segenap kekuatan...Menjelajah kata-kata tanpa tepi...Tanpa akhir...
Aku yakin aku bisa...