Keelokan Tuban. Eksotisme laut utara pulau jawa.
Aku keliling Bojonegoro pagi itu, sekitar pukul enam. Ah nikmat sekali bersepeda di kota ini. Anak” sekolah, ibu” kepasar, penjual” kelontong, semua naik sepeda. Rasanya mereka cukup pantas ikut bike2work.
Aku kepasar, ke alun-alun, menyusuri jalan-jalan kota yang teduh dan menekuri sungai Bengawan Solo sang penyebab banjir tempo hari. Seteleh selesai, aku kekosan Triana sekitar pukul setengah delapan pagi. Dia masih di pasiennya pagi itu. Aku langsung menemukan kosanya. Dia tak tahu.
Cukup lama juga aku mengunggu. Akhirnya dia datang juga. Ternyata dia mencariku di seputaran alun-alun. Sudah empat kali dia kelilingi alun-alun yang tak berubah itu. Maaf. Memang tadi kami janjian di alun” tapi aku langsung ke kosannya yang tak jauh dari alun”.
Setelah janjian untuk acara ke Tuban, aku segera menggenjot sepeda sekuat tenaga. Tak sampai sepuluh menit aku sudah sampai rumah Mbak Um. Aku segera mandi dan makan pagi. Seluruh keluarga sudah makan pagi. Tinggal aku seorang. Mbak Um harus ke Bank BNI pagi ini. Putri mungil maniesnya yang kuliah di Malang merengek minta jatah bulanan. Putri Pramesti namanya. Semester akhir, mungkin sebentar lagi lulus.
Selesai mengantar Mbak Um aku segera ke kosan Triana. Maaf. Aku terlambat. Kami berangkat menuju Tuban. Lewat Rengel, dan berbelok kearah Semanding. Alun” dan Makam Sunan Bonang tujuan pertama kami. Tapi kami tak melewatkan pemandangan alam kecamatan Rengel yang elok tak terperi. Dengan kontur yang berbukit-bukit dan sawah” yang menghijau. Tapi dari atas bukit aku lihat pemandangan yang aneh.
Di tengah” daerah hijau ada kubangan” air laiknya danau. Bukan danau tapi.
Itulah daerah” yang
masih terkena banjir diseputaran Bojonegoro dan Tuban. Bengawan Solo tak memberi ampun karena ekosistemnya dirusak habis”an oleh orang lain. Ah manusia. Aku temukan paradok pertama dalam perlajalanku ini. Kasihan para korban itu.
Sekita satu setengah jam kami sampai di alun” Tuban. Disebelah barat ada Masjid dan komplek makan sunan Bonang. Disebelah selatan ada kantor bupati dan Museum Kambang Putih.
Sebelah utara, dekat sekali dengan laut, ada pasar dan Pantai Boom yang termasyur itu. Dan sebelah timur ada pendopo yang rata dengan tanah karena kerusuhan pilkada tempo hari.
Ditambah sepasang beringin yang menjulur”kan akar tunggangnya alun” Tuban adalah tempat plesir yang memikat. Terutama bagiku.
Selesai menikmati alun” aku segera beranjak ke makam Sunan Bonang. Tak terlalu ramai hari itu. Karena memang hari senin. Hari masuk kerja. Jadi kami bisa menikmati kuburan yang jauh dari angker ini dengan lega. Tak desak”an dengan pengunjung lain. Aku tak berdoa disana. Sekedar ambil beberapa foto dan melihat”. Sayang aku tak bisa melihat pusara beliau. Karena di gembok dan hanya juru kunci yang boleh membukanya. Mungkin jika aku pejabat boleh kali ya. Hehehe…
Setelah puas melihat komplek makam sunan Bonang, kami segera beranjak ke Museum Kambang Putih. Berada di sebelah selatan alun” museum ini memuat sejarah kabupaten Tuban. Ada silsilah bupati Tuban, beberapa guci, gerabah, Lingga, dan masih banyak lagi yang lain. Aku lupa oey. Wah, dasar bloon. Hehehe…
Hari makin siang. Kami beranjak ke masjid agung untuk sholat dzuhur. Siang itu udara Tuban sangat bersahabat. Mendung dan sejuk. Awan berarak mengikuti angin laut berkejaran dengan burung” yang terbang bergerombol membentuk kelompok” kecil. Ah betapa indahnya lukisana tuhan.
Setelah selesai kami segera beranjak menuju pendopo kabupaten membelah alun”. Aku sempat mengambil beberapa gambar sudut dari alun”. Triana mengikutiku dibelakang. Temanku ini susah sekali diajak foto. Malu katanya. Aku yang ancur aja bisa narsis. Ah anak manusia memang berbeda” isi batok kepalanya. Meski bahanya sama. Dari hal ini aku temukan paradok kedua.
Kami sempat foto”, tapi aku dan Tuban sebagai obyeknya. Dia, ah betapa pemalunya temanku ini. Aku sempat memfoto beberapa bagian pendopo. Tapi sayang, pendopo itu telah hangus terbakar.
Setelah berpuas hati dengan alun” dan pemandangan sekitarnya, kami segera ke pantai Boom.
Tak berapa jauh dari alun”. Sebelah utara tentunya. Tapi, malang benar pantai termasyur Tuban satu ini. Di beberapa tempat, abrasi menggerusnya tak terkira. Hampir habis bahkan. Sampai” motorpun tak bisa melewatinya. Padahal dulu pantai legendaris ini adalah pelabuhan yang ramai. teramai di pesisir utara jawa timur setelah Surabaya bahkan. Sekarang, ah, malang benar nasibnya. Tak terawatt bahkan terancam hilang ditelan laut. Pemeritah daerah tak punya ‘sense of belonging’ sama sekali. Padahal kalau dikembangkan bisa sebagai tujuan wisata bahari yang bagus. Dan wisata sejarah tentunya.
Hari itu pantai tak begitu ramai. Hanya ada beberapa pasangan muda-mudi memadu kasih, beberapa pemancing amatir, nelayan dan kami. Hampir tak ada kegiatan ekonomi disana. Memang tak ada yang bisa diharapakan dari pantai yang hampir punah ini kecuali pemandangan sunset dan nama besarnya. Malang nian nasibmu Boom.
Setelah puas menikmati laut dan pantainya yang makin nggak jelas itu, kami segera beranjak ke Gua Akbar. Gua paling masyur di Tuban. Gua yang katanya eksotis tapi diatasnya pasar. Triana sudah pernah sekali kesana. Tapi lupa jalanya. Tipikal orang yang banyak mikir yang penting. Yang remeh” kayak gitu dia nggak bakalan inget. Kalo aku sih sering untuk yang kayak gitu inget, tapi yang susah” nggak inget. Khas orang bodoh tentunya. Udah bodoh bangga lagi. Akhirnya kutemukan paradoks ketiga.
Setelah nanya” akhirnya kami sampai juga di Goa Akbar. Jalan aksesnya nggak terlalu bagus untuk sebuah tempat wisata andalan. Banyak PKL dikanan kiri jalan. Parkirnyapun kurang represntatif, meskipun cukup dekat dengan lokasi. Tapi untuk Bus, emang agak jauh.
Kami segera masuk setelah membeli tiket. Cukup murah sih cuma dua ribu rupiah per batok kepala. Kami langsung berjalan memasuki gua yang termasyur itu. Ah luas nian kiranya gua ini. Pintunya saja cukup luas dan nyaman untuk dimasuki. Karena hari senin maka kami dapati gua Akbar cukup lengang. Gemiricik air menambah syahdu suasa disana. Aku girang tak alang kepalang. Sudah lama aku merindukan suasana begini. Tenang, senyap dibawah hiruk pikuk pasar yang menjejal ditaatasanya. Kami berjalan berlambat-lambat menekuri gua ini.
Kami masuki ruangan demi ruangan dengan pelan. Aikh romatisnya seandainya saja aku berdua dengan pasanganku.
Sayangnya aku tak punya pacar. Ah dasar jomblo kesepian. Jomblo tak tahu jaman.
Kami terus bergerak masuk makin kedalam. Tak berapa lama kami melihat makluk sejenisku berduaan. Manusia. Mereka berasyik masyuk walau melihat kami. Ah, anak manusia modern. Berbeda nian dengan jaman dahulu. Budaya modern menuntut mereka kehilangan identitas. Hehehe…
Lebih dari sejam kami rasuki jiwa Gua Akbar. Jalanya memang sengaja dibuat memutar. Meski ada beberapa bagian yang bertemu tapi ada sekat besi yang memisahkan. Selain itu kami juga ingin menikmati ruangan” yang lain yang mungkin menyajikan sesuatu yang baru. Yang hebat mungkin. Tapi memang ada kekurangan sedikit yang mungkin juga sebagai kelebihan. Banyak sekali kelelawar yang bergantung diatas. Itu tak masalah, tapi karena mereka juga mamalia makanya mereka juga mengeluarkan kotoran laiknya manusia. Bau banget oey. Ya sudah tapi itu mungkin juga menjadi selingan yang menarik dari gua ini. Nggak papa lah. Dan hebatnya pasangan yang asyik masyuk itu ada di ruangan yang bau bukan main itu. Iiihh, hebat nian mereka. Memang kadang cinta bisa mematikan syaraf manusia. Cinta memang gilaHehehe….
Setelah sampai diujung pintu keluar kami istirahat. Capek kelihatanya temenku yang baik hati ini. Dan kami sempat sholat di gua itu. Baru aku lihat sekarang gua alami yang ada musholanya. Hebat…hebat…hebat… dan kreatip.
Setelah istirahat beberapa lama dan sambil berunding kemana lagi tujuan selanjutnya kami segera beranjak. Sekarang kami akan ke klenteng yang ada di pinggir jalan raya Daendels. Jalan itu ada di pinggir laut. Dan dengan klenteng yang yang ada diselatan jalan menghadap langsut ke laut utara. Indah poll pokokna mah.
Setelah berjalan-jalan kami segera mencari makan. Dipinggir laut juga. Perutku sedari tadi minta diisi. hehehe… Dasar omnivora tak tahu malu.
Setelah mengisi bahan bakar tubuh dan menikmati laut pantai utara kami segera beranjak pergi. Tujuan kami adalah pemandian Bektiharjo dan gua Ngerong. Untuk pemandian Bektiharjo aku hanya ingin sekedar tahu saja. Tak mungkin aku mandi disana. Matari udah mulai beringsut kearah barat.
Kami hanya mampir sebentar di Pemandian Bektiharjo. Sudah sepi aku lihat. Hanya ada beberapa pengunjung saja.
Kami langsung beranjak ke pasar Rengel. Gua Ngerong hanya berjarak dua ratus meter dari pasar itu. Dia ada di pinggir jalan propinsi antara Tuban - Bojonegoro.
Setelah memarkir sepeda kami segera beranjak ke gua. Disinipun aku hanya menjumpai beberapa pengunjung saja. Tak banyak. Mungkin gara” senin dan juga hari sudah sangat sore. Sekitar dua puluh menit kami disana. Kami memberi makan ikan yang luar biasa banyaknya itu. Dan juga dilangit-langitnya berjejalan kelelalawar yang berjumlah ribuan buah. Aku malas menghitungnya.
Gua ini sangat dalam katanya. Dari dalam mengalir terus air yang cukup jernih. Jika ditelusuri akan samapi ke Pemandian Bektiharjo dan Gua Akbar. Aku membayangkan memasuki labirin” gua itu. Aikh betapa indahnya kurasa. Suastu saat mungkin aku akan melaksanakanya.
Setelah berbasa-basi dengan kelelawar dan ikan kami segera beranjak menuju Bojonegoro. Tak sampai setengah jam kami sudah memasuki kota yang dibangun di pinggir Bengawan Solo itu. Kosan Triana adalah tujuanya. Tak berapa lama setelah dia dandan dan membersihkan diri kami segera beranjak menuju rumah saudaraku Di Kampung Baru yang aku tinggalakan sedari tadi pagi.
Sesampai dirumah kami ngobrol panjang lebar. Triana aku tinggalkan dengan penghuni rumah. Aku harus mandi dan membersihkan diri. Tadi aku sudah berjanji pada Hezek untuk berkunjung ke rumahnya. Walau sebentar, aku harus mampir katanya.
Jam sudah menunjuk angka tujuh. Kami beranjak dari Kampung Baru menuju rumah Hezek yang tak jauh dari alun-alun kota. Tak jauh dari kosan Triana tentunya.
Kami mampir agak lama disitu. Kasihan juga Triana. Dia sudah terlihat letih. Kami segera pamit. Tapi aku tak langsung mengajaknya pulang. Warnet adalah tujuan selanjutnya. Mengupload gambar-gambar ke emailku. Aku takut datanya akan ilang. Setelah memback up data ke email dan cd kami segera beranjak pulang. Aku antar Triana ke kosan. Dan aku balik ke Kampung Baru.
Sesampai dirumah aku segera istirahat. Badanku rasanya capek bukan main. Lelah luar biasa. Karenanya tak berapa lama aku sudah hilang kesadaran dan terlarut dalam mimpi”.
Aku harus segera pulang ke Surabaya. Sudah terlalu lama aku liburan. Pagi” aku pamit untuk pulang. Lamongan, Bojonegoro dan Tuban memberi pengalaman baru bagi hidupku. Pengalaman yang akan mengendap di hati dan otakku. Terima kasih semua. Terima kasih Tuhan.
Tamat.