Kamis, Maret 20, 2008

Ibu, Sepenggal Kisah...1

Telpon satelitku berbunyi berjakali-kali. Dia ada di tas daypackku. Aku tak dengar. Aku sedang mencari remah” kayu untuk penghangat malam nanti. Dilereng timur Kerinci di ketingginan sekitar dua ribuaan. Vegetasi masih cukup lebat. Tetapi dingin cukup menyeruak. Sore itu aku bertiga bersama Anang dan Reifky. Tiba-tiba suara Anang sayup” terdengar memanggil namaku. Aku terkaget-kaget. Aku langsung berteriak menandakan posisiku. Tak berapa lama Anang datang dengan nafas tersengal-sengal. Dia mengabarkan adanya telfon dari keluargaku. Ibuku sakit. Sekarang sudah di rumah sakit. Sudah hampir tiga hari beliau disana. Ditanganya masih terbawa telpon itu. Katanya keluargaku akan menelpon kembali.

Tak berapa lama telpon kembali berbunyi. Suara sepupuku serak diseberang sana. Dia hanya menyuruhku untuk segera pulang. Ibuku kritis. Sudah hampir tiga hari aku dihubungi. Tapi susah bukan main. Aku dan Anang bergegas menuju tenda kami. Rifki hanya terbengong-bengong melihatku mengemasi barang-barang. Aku harus pulang sekarang. Terserah kalian mau meneruskan pendakian atau kembali ke Surabaya bersamaku. Kami bertiga memang sekantor disana.

Matahari semakin tenggelam dalam cakrawala. Aku tak peduli. Aku harus segera sampai di Pekanbaru dan langsung mengambil pesawat pertama ke Jakarta. Dan langsung ke Solo. Setelah itu perjalan darat menuju Madiun. Entah berapa jam lagi aku sampai. Aku tak tahu.

Setelah mengemasi barang kami segera turun. Sekitar lima jam kami sampai desa terdekat. Jam menunjuk pukul sembilan malam. Kami langsung menyewa mobil menuju Sungai Penuh. Di perjalanan telponku kembali berdering. Kondisi ibuku makin kritis. aku hanya bisa terdiam dalam hempasan keras mobil, melewati jalanan yang tak lagi mulus. Tanpa sadar airmata meleleh di pipiku. Aku tak mau menangis. Ibuku akan sehat kembali. Keyakinan itu makin pudar. Air mata terus meleleh. Tiba di Sungai Penuh, sekitar pukul satu dini hari. Bus pertama yang ke Pekanbaru baru ada pukul empat. Ku telpon rumah. Tak ada yang menyahut. Ku telpon handphone kakakku. Lama sekali tak diangkat. Setelah sekian lama akhirnya ada jawaban. Sekarang seluruh keluarga berada di rumah sakit. Aku menanyakan kondisi ibu. Masih seperti tadi. Beliau belum tersadar.

Akupun menyewa mobil menuju Pekanbaru. Sungai Penuh-Pekanbaru akan memakan waktu tak kurang enam jam. Bisa lebih bahkan. Aku duduk tepekur di samping sopir. Ingatanku berkelana kesana-kemari.

Aku hanya bisa menangis di saat itu. Tak lebih. Ibu selimuti diriku dengan kehangatan. Dengan senyum penuh makna ketulusan. Ibu susui aku dengan cinta dan kasih sayang. Aku tertawa girang. Tanpa tahu makna hidup. Tanpa dosa terus meminta.

Aku belajar semua tentang hidup. Ibu ajari dengan ketulusan dan kebijakan. Tanpa keluh meski seringkali dengan peluh. Tanpa amarah meski seringkali dengan darah. Tanpa lelah ku terus menangis. Tanpa henti bahkan. Aku buat kesalahan-kesalahan. Ibu maafkan dengan kelapangan. Aku buat kenakalan, ibu balas dengan cinta.

Ibu begitu agung untuk menghadapiku. Ibu begitu berkilau ditengah lumpur dosa diriku. Sedari dulu aku hanya meronta, tanpa tahu makna. Harum jiwamu tanpa pamrih terus menyebarkan wangi kepada dunia.

Ibu, Sepenggal Kisah...2

Suara Anang membangunkan lamunanku. Airmata kembali menetes disana. Dipipiku yang penuh dosa. Anang membesarkan hatiku. Tapi aku tak kuasa menahan lelehan air mata yang makin menderas.

Ingatanku bergerak liar. Kelebatan memori bersliweran di otakku. Sekarang, aku telah beranjak dewasa. Senyum agungmu terus tersungging. Segunung dosa telah kubuat. Bahkan ibu terus melindungi. Dari hujan dan badai dunia. Diperantauan ini sekarang ibu. Aku hanya bisa berdoa untuk semuanya. Baru itu yang bisa aku lakukan. Baru itu yang bisa aku jalankan. Tak bisa aku melakukan yang lebih. Maafkan aku ibu. Maafkan dengan tulus. Aku yakin tanpa memintapun aku pasti mendapatnya.

Air mata tak kuasa aku hentikan. Cintamu begitu tulus dan agung. Terimalah secuil baktiku ini. Aku akan berusaha untuk lebih baik. Sekedar untuk menghadirkan senyum diwajahmu yang makin menua. Sekedar membuat lega hari-harimu sekarang ini. Aku berjanji. Setulus-tulusnnya. Sebenar-benarnya.

Klakson yang keras membuyarkan lamunanku kembali. Aku hanya bisa tepekur dengan doa. Jalanan yang sepi itu makin serasa sangat jauh bagiku. Otakku serasa mau meledak. Aku hanya ingin segera bertemu dengan beliau.

Sampai juga di Pekanbaru. Kami langsung menuju Bandara. Memesan tiket penerbangan pertama menuju Jakarta. Tak ada penerbangan ke Surabaya hari itu. Setelah menunggu, boarding dan duduk di pesawat, hatiku makin berderit. Air mata kembali meleleh.

Belum ada yang bisa aku persembahkan. Belum ada yang bisa aku baktikan. Cintamu begitu tulus tak bertepi. Ketika ku berangkat merantau tuk kuliah, ibu beriku doa dan cinta yang tulus. Walau kuliahku molor dan hasilnya kurang memuaskan, justru ibu yang membesarkan hatiku. Mengisi hari-hari terberatku dengan nasehat dan cinta. Tuhan ganti saja nyawa beliau dengan nyawaku. Aku mohon.

Tak terasa pesawat memasuki bandara Soekarno-Hatta. Aku terdiam dalam kelam duniaku. Anang dan Reifky membimbingku menuruni pesawat. Dunia serasa berhenti berdetak bagiku. Tuhan aku mohon dengan sepenuh jiwa.

Handphoneku kembali berdering. Suara kakakku serak menanyakan posisiku. Ibuku makin kritis. Seluruh keluaga besar ibu dan ayahku sudah berkumpul di rumah sakit. Hanya aku yang tak ada. Anang membeli tiket jurusan Solo. Hanya tersisa satu saja. Terpaksa mereka melepasku dengan berat hati. Mereka akan langsung ke Surabaya saja. Pesawat ke Surabaya selalu ada hampir tiap jam.

Setelah memasuki pesawat Garuda jurusan Solo aku kembali termenung. Suara wanita disebelahku memecahkannya. Setelah berbasa-basi sebentar, aku langsung tenggelam dalam lamunan dan kenangan. Tak berasa mataku sembab. Tak sampai meleleh memang. Laiknya anak kecil yang tertinggal di terminal sendirian. Sunyi dalam keramaian. Semua beban rasanya tertimpa di badanku. Aku tak kuasa Tuhan. Jangan panggil beliau Tuhan. Aku mohon.

Setelah dibandara Adi Sumarmo Solo, handphone kembali aku nyalakan. Masuk sebuah sms dari nomor kakakku. Aku tak perlu ke rumah sakit, langsung saja ke rumah. Tak mungkin ibuku telah tiada. Aku tak percaya. Ibuku masih hidup, begitu teriakku memecah keramaian bandara. Ibuku masih hidup. Aku yakin!!

Kakiku bergetar dan melemas. Untung ada dua orang yang segera memapahku ke kursi tunggu. Setelah menenangkan diri langsung ku telepon hp kakaku. Suara kakaku sayup” kudengar. Aku hanya berpesan untuk menungguku. Sampai kedatanganku. Taksi datang dan langsung meluncur ke rumah. Ku suruh sopir memacu mobilnya sekencang-kencangnya.

Aku duduk di kursi belakang dengan lelehan air mata tanpa henti. Hpku kembali bergetar. Suara sepupuku diseberang sana menayakan posisiku. Kujawab sekenanya. Tapi maksimal dua jam aku sudah sampai dirumah. Begitu kataku.

Mulai kutanyakan pada diriku kenapaku mendaki gunung waktu liburan ini. Mulai kutanyakan keadilan Tuhan. Kutantang kembali Tuhan untuk menggatikan nyawa ibuku dengan nyawaku. Kurasakan keadilan itu begitu jauh disana. Lelehan air mataku makin menderas. Aku yakin ibuku masih ada. Tapi keyakinan itu memudar entah kenapa.

Hpku kembali bergetar. Tulisan Anang Hp tertera disana. Ku jawab sekenanya saja. Aku masih dalam perjalanan menuju rumahku. Ibuku tak lagi dirawat dirumah sakit.

Kulihat bendera putih di depan gang rumahku. Aku yakinkan itu bukan bendera kematian ibuku. Langsung kubuka pintu taksi yang berjalan pelan. Sambil berleleran air mata aku lari memasuki rumah. Kakak dan sepupuku memegangiku karena badanku terhuyung-huyung.

Tak ada kata” yang bisa terucap. Aku tak tahu. Aku ingin keluarkan semua. Aku ingin menyumpahi Tuhan. Dia tak adil siang ini. Dia tak adil.

Setelah tenang aku beranjak disamping beliau. Aku tak tahan dengan semuanya. Darahku seperti diubun”. Bertumpuk-tumpuk berat tak alang-kepalang. Aku seperti tak kuasa menahanya.

Ku terpekur disamping beliau. Akh aku tak kuasa menahan ini. Terlalu berat beban ini Tuhan. Bantulah aku Tuhan. Mataku berlinang air mata. Tak tertahankan.

Aku terdiam seperti aku tak disitu. Aku tak tahan. Selebatan ingatan-ingatan itu kembali berkecamuk. Aku ingin menghilangkan sejenak itu. Aku tak kuasa. Aku tak kuasa. Semakin aku berontak justru ingatan itu semakin kuat. Kuat sekali malah.

Masa kecil digendonganya. Aku menetek tanpa ampun sampai Taman Kanak”. Ibu memberi pelajaran” hidup dari mulai tak bias baca, diajarinya aku walau kadang sampai menangis. Baik huruf latin maupun arab. Akhhhhh, aku tak kuasa Tuhan.

Keranda itu berarak dari rumahku menuju kuburan desa tak jauh dari rumahku. Semua ritual telah aku lalui. Aku tepekur di samping pusara beliau. Maafkan aku ibu. Maafkan.

Senin, Maret 17, 2008

Keelokan Tuban. Eksotisme laut utara pulau jawa.

Keelokan Tuban. Eksotisme laut utara pulau jawa.

Aku keliling Bojonegoro pagi itu, sekitar pukul enam. Ah nikmat sekali bersepeda di kota ini. Anak” sekolah, ibu” kepasar, penjual” kelontong, semua naik sepeda. Rasanya mereka cukup pantas ikut bike2work.
Aku kepasar, ke alun-alun, menyusuri jalan-jalan kota yang teduh dan menekuri sungai Bengawan Solo sang penyebab banjir tempo hari. Seteleh selesai, aku kekosan Triana sekitar pukul setengah delapan pagi. Dia masih di pasiennya pagi itu. Aku langsung menemukan kosanya. Dia tak tahu.
Cukup lama juga aku mengunggu. Akhirnya dia datang juga. Ternyata dia mencariku di seputaran alun-alun. Sudah empat kali dia kelilingi alun-alun yang tak berubah itu. Maaf. Memang tadi kami janjian di alun” tapi aku langsung ke kosannya yang tak jauh dari alun”.
Setelah janjian untuk acara ke Tuban, aku segera menggenjot sepeda sekuat tenaga. Tak sampai sepuluh menit aku sudah sampai rumah Mbak Um. Aku segera mandi dan makan pagi. Seluruh keluarga sudah makan pagi. Tinggal aku seorang. Mbak Um harus ke Bank BNI pagi ini. Putri mungil maniesnya yang kuliah di Malang merengek minta jatah bulanan. Putri Pramesti namanya. Semester akhir, mungkin sebentar lagi lulus.
Selesai mengantar Mbak Um aku segera ke kosan Triana. Maaf. Aku terlambat. Kami berangkat menuju Tuban. Lewat Rengel, dan berbelok kearah Semanding. Alun” dan Makam Sunan Bonang tujuan pertama kami. Tapi kami tak melewatkan pemandangan alam kecamatan Rengel yang elok tak terperi. Dengan kontur yang berbukit-bukit dan sawah” yang menghijau. Tapi dari atas bukit aku lihat pemandangan yang aneh. Di tengah” daerah hijau ada kubangan” air laiknya danau. Bukan danau tapi. Itulah daerah” yang masih terkena banjir diseputaran Bojonegoro dan Tuban. Bengawan Solo tak memberi ampun karena ekosistemnya dirusak habis”an oleh orang lain. Ah manusia. Aku temukan paradok pertama dalam perlajalanku ini. Kasihan para korban itu.
Sekita satu setengah jam kami sampai di alun” Tuban. Disebelah barat ada Masjid dan komplek makan sunan Bonang. Disebelah selatan ada kantor bupati dan Museum Kambang Putih. Sebelah utara, dekat sekali dengan laut, ada pasar dan Pantai Boom yang termasyur itu. Dan sebelah timur ada pendopo yang rata dengan tanah karena kerusuhan pilkada tempo hari.
Ditambah sepasang beringin yang menjulur”kan akar tunggangnya alun” Tuban adalah tempat plesir yang memikat. Terutama bagiku.
Selesai menikmati alun” aku segera beranjak ke makam Sunan Bonang. Tak terlalu ramai hari itu. Karena memang hari senin. Hari masuk kerja. Jadi kami bisa menikmati kuburan yang jauh dari angker ini dengan lega. Tak desak”an dengan pengunjung lain. Aku tak berdoa disana. Sekedar ambil beberapa foto dan melihat”. Sayang aku tak bisa melihat pusara beliau. Karena di gembok dan hanya juru kunci yang boleh membukanya. Mungkin jika aku pejabat boleh kali ya. Hehehe…
Setelah puas melihat komplek makam sunan Bonang, kami segera beranjak ke Museum Kambang Putih. Berada di sebelah selatan alun” museum ini memuat sejarah kabupaten Tuban. Ada silsilah bupati Tuban, beberapa guci, gerabah, Lingga, dan masih banyak lagi yang lain. Aku lupa oey. Wah, dasar bloon. Hehehe…
Hari makin siang. Kami beranjak ke masjid agung untuk sholat dzuhur. Siang itu udara Tuban sangat bersahabat. Mendung dan sejuk. Awan berarak mengikuti angin laut berkejaran dengan burung” yang terbang bergerombol membentuk kelompok” kecil. Ah betapa indahnya lukisana tuhan.
Setelah selesai kami segera beranjak menuju pendopo kabupaten membelah alun”. Aku sempat mengambil beberapa gambar sudut dari alun”. Triana mengikutiku dibelakang. Temanku ini susah sekali diajak foto. Malu katanya. Aku yang ancur aja bisa narsis. Ah anak manusia memang berbeda” isi batok kepalanya. Meski bahanya sama. Dari hal ini aku temukan paradok kedua.
Kami sempat foto”, tapi aku dan Tuban sebagai obyeknya. Dia, ah betapa pemalunya temanku ini. Aku sempat memfoto beberapa bagian pendopo. Tapi sayang, pendopo itu telah hangus terbakar.
Setelah berpuas hati dengan alun” dan pemandangan sekitarnya, kami segera ke pantai Boom. Tak berapa jauh dari alun”. Sebelah utara tentunya. Tapi, malang benar pantai termasyur Tuban satu ini. Di beberapa tempat, abrasi menggerusnya tak terkira. Hampir habis bahkan. Sampai” motorpun tak bisa melewatinya. Padahal dulu pantai legendaris ini adalah pelabuhan yang ramai. teramai di pesisir utara jawa timur setelah Surabaya bahkan. Sekarang, ah, malang benar nasibnya. Tak terawatt bahkan terancam hilang ditelan laut. Pemeritah daerah tak punya ‘sense of belonging’ sama sekali. Padahal kalau dikembangkan bisa sebagai tujuan wisata bahari yang bagus. Dan wisata sejarah tentunya.
Hari itu pantai tak begitu ramai. Hanya ada beberapa pasangan muda-mudi memadu kasih, beberapa pemancing amatir, nelayan dan kami. Hampir tak ada kegiatan ekonomi disana. Memang tak ada yang bisa diharapakan dari pantai yang hampir punah ini kecuali pemandangan sunset dan nama besarnya. Malang nian nasibmu Boom.
Setelah puas menikmati laut dan pantainya yang makin nggak jelas itu, kami segera beranjak ke Gua Akbar. Gua paling masyur di Tuban. Gua yang katanya eksotis tapi diatasnya pasar. Triana sudah pernah sekali kesana. Tapi lupa jalanya. Tipikal orang yang banyak mikir yang penting. Yang remeh” kayak gitu dia nggak bakalan inget. Kalo aku sih sering untuk yang kayak gitu inget, tapi yang susah” nggak inget. Khas orang bodoh tentunya. Udah bodoh bangga lagi. Akhirnya kutemukan paradoks ketiga.
Setelah nanya” akhirnya kami sampai juga di Goa Akbar. Jalan aksesnya nggak terlalu bagus untuk sebuah tempat wisata andalan. Banyak PKL dikanan kiri jalan. Parkirnyapun kurang represntatif, meskipun cukup dekat dengan lokasi. Tapi untuk Bus, emang agak jauh.
Kami segera masuk setelah membeli tiket. Cukup murah sih cuma dua ribu rupiah per batok kepala. Kami langsung berjalan memasuki gua yang termasyur itu. Ah luas nian kiranya gua ini. Pintunya saja cukup luas dan nyaman untuk dimasuki. Karena hari senin maka kami dapati gua Akbar cukup lengang. Gemiricik air menambah syahdu suasa disana. Aku girang tak alang kepalang. Sudah lama aku merindukan suasana begini. Tenang, senyap dibawah hiruk pikuk pasar yang menjejal ditaatasanya. Kami berjalan berlambat-lambat menekuri gua ini. Kami masuki ruangan demi ruangan dengan pelan. Aikh romatisnya seandainya saja aku berdua dengan pasanganku. Sayangnya aku tak punya pacar. Ah dasar jomblo kesepian. Jomblo tak tahu jaman.
Kami terus bergerak masuk makin kedalam. Tak berapa lama kami melihat makluk sejenisku berduaan. Manusia. Mereka berasyik masyuk walau melihat kami. Ah, anak manusia modern. Berbeda nian dengan jaman dahulu. Budaya modern menuntut mereka kehilangan identitas. Hehehe…
Lebih dari sejam kami rasuki jiwa Gua Akbar. Jalanya memang sengaja dibuat memutar. Meski ada beberapa bagian yang bertemu tapi ada sekat besi yang memisahkan. Selain itu kami juga ingin menikmati ruangan” yang lain yang mungkin menyajikan sesuatu yang baru. Yang hebat mungkin. Tapi memang ada kekurangan sedikit yang mungkin juga sebagai kelebihan. Banyak sekali kelelawar yang bergantung diatas. Itu tak masalah, tapi karena mereka juga mamalia makanya mereka juga mengeluarkan kotoran laiknya manusia. Bau banget oey. Ya sudah tapi itu mungkin juga menjadi selingan yang menarik dari gua ini. Nggak papa lah. Dan hebatnya pasangan yang asyik masyuk itu ada di ruangan yang bau bukan main itu. Iiihh, hebat nian mereka. Memang kadang cinta bisa mematikan syaraf manusia. Cinta memang gilaHehehe….
Setelah sampai diujung pintu keluar kami istirahat. Capek kelihatanya temenku yang baik hati ini. Dan kami sempat sholat di gua itu. Baru aku lihat sekarang gua alami yang ada musholanya. Hebat…hebat…hebat… dan kreatip.
Setelah istirahat beberapa lama dan sambil berunding kemana lagi tujuan selanjutnya kami segera beranjak. Sekarang kami akan ke klenteng yang ada di pinggir jalan raya Daendels. Jalan itu ada di pinggir laut. Dan dengan klenteng yang yang ada diselatan jalan menghadap langsut ke laut utara. Indah poll pokokna mah.
Setelah berjalan-jalan kami segera mencari makan. Dipinggir laut juga. Perutku sedari tadi minta diisi. hehehe… Dasar omnivora tak tahu malu.
Setelah mengisi bahan bakar tubuh dan menikmati laut pantai utara kami segera beranjak pergi. Tujuan kami adalah pemandian Bektiharjo dan gua Ngerong. Untuk pemandian Bektiharjo aku hanya ingin sekedar tahu saja. Tak mungkin aku mandi disana. Matari udah mulai beringsut kearah barat.
Kami hanya mampir sebentar di Pemandian Bektiharjo. Sudah sepi aku lihat. Hanya ada beberapa pengunjung saja.
Kami langsung beranjak ke pasar Rengel. Gua Ngerong hanya berjarak dua ratus meter dari pasar itu. Dia ada di pinggir jalan propinsi antara Tuban - Bojonegoro.
Setelah memarkir sepeda kami segera beranjak ke gua. Disinipun aku hanya menjumpai beberapa pengunjung saja. Tak banyak. Mungkin gara” senin dan juga hari sudah sangat sore. Sekitar dua puluh menit kami disana. Kami memberi makan ikan yang luar biasa banyaknya itu. Dan juga dilangit-langitnya berjejalan kelelalawar yang berjumlah ribuan buah. Aku malas menghitungnya.
Gua ini sangat dalam katanya. Dari dalam mengalir terus air yang cukup jernih. Jika ditelusuri akan samapi ke Pemandian Bektiharjo dan Gua Akbar. Aku membayangkan memasuki labirin” gua itu. Aikh betapa indahnya kurasa. Suastu saat mungkin aku akan melaksanakanya.
Setelah berbasa-basi dengan kelelawar dan ikan kami segera beranjak menuju Bojonegoro. Tak sampai setengah jam kami sudah memasuki kota yang dibangun di pinggir Bengawan Solo itu. Kosan Triana adalah tujuanya. Tak berapa lama setelah dia dandan dan membersihkan diri kami segera beranjak menuju rumah saudaraku Di Kampung Baru yang aku tinggalakan sedari tadi pagi.
Sesampai dirumah kami ngobrol panjang lebar. Triana aku tinggalkan dengan penghuni rumah. Aku harus mandi dan membersihkan diri. Tadi aku sudah berjanji pada Hezek untuk berkunjung ke rumahnya. Walau sebentar, aku harus mampir katanya.
Jam sudah menunjuk angka tujuh. Kami beranjak dari Kampung Baru menuju rumah Hezek yang tak jauh dari alun-alun kota. Tak jauh dari kosan Triana tentunya.
Kami mampir agak lama disitu. Kasihan juga Triana. Dia sudah terlihat letih. Kami segera pamit. Tapi aku tak langsung mengajaknya pulang. Warnet adalah tujuan selanjutnya. Mengupload gambar-gambar ke emailku. Aku takut datanya akan ilang. Setelah memback up data ke email dan cd kami segera beranjak pulang. Aku antar Triana ke kosan. Dan aku balik ke Kampung Baru.
Sesampai dirumah aku segera istirahat. Badanku rasanya capek bukan main. Lelah luar biasa. Karenanya tak berapa lama aku sudah hilang kesadaran dan terlarut dalam mimpi”.
Aku harus segera pulang ke Surabaya. Sudah terlalu lama aku liburan. Pagi” aku pamit untuk pulang. Lamongan, Bojonegoro dan Tuban memberi pengalaman baru bagi hidupku. Pengalaman yang akan mengendap di hati dan otakku. Terima kasih semua. Terima kasih Tuhan.
Tamat.

Bojonegoro, arti sebuah ketenangan... Nort East Java Journey..3

Bojonegoro, arti sebuah ketenangan.

Jarak antara Babat dan Bojonegoro hanya sekitar 40 km. Aku menempuhnya sekitar 40 menit. Harusnya bisa lebih cepat sih. Karena jalan agak bergelombang dan lubang” makanya harus hati-hati banget. Berangkat dari Babat sekira jam 5 sore, sampai sana sekitar lima empat puluh menit. Tadi sempat nanya ke orang di lampu merah dimana daerah Kampung Baru. Saudaraku tinggal di Kampung Baru, selatan Stasiun Bojonegoro. Disana sudah menunggu keluarga minus putra-putrinya yang besar. Mereka sedang kerja dan study di Malang.

Sesampai di rumah tersebut aku segera disambut tuan rumah. Setelah ngobrol ngalor-ngidul aku permisi untuk mandi dan sholat magrib. Aku diantarkan kekamar lantai atas. Disana ada tiga kamar. Satu kamar ditempat kakak beradik anak Man dan MTsN Bojonegoro dari daerah udik yang aku lupa namanya. Satu kamar untuk sholat. Dan satu kamar untukku. Selesai semuanya aku segera beranjak turun kebawah. Dibawah, mereka sudah mengungguku untuk makan malam. Aku capek luar biasa sebenarnya. Tapi semangatku masih berkobar-kobar untuk keliling kota.

Selesai makan malam, ditemani Iqbal aku keliling kota. Sampai di alun-alun, aku telpon temenku SMP yang tinggal disana. Triana namanya. Dia temen smp, tapi waktu smp kami tak saling kenal. Mungkin dia kenal aku, tapi aku tak kenal dia. Halah… Tak begitu sebenarnya. Aku warga kelas dua di smpku. Smp kampung yang berada di lereng Gunung Wilis. Pantaslah kalo tak dikenal. Hehehe…

Dia sekarang bekerja di RSI Bojonegoro. Sebuah rumah sakit swasta paling elit di kota tempat lahir pahlawan nasional Tirto Adhi Soeryo ini. Atau yang lebih dikenal sebagai Mingke di tetralogi Pulau Burunya Pramoedya Ananta Toer. Dia tinggal tak jauh dari masjid agung Bojonegoro. Selitasan ketapel saja. Setelah menunggu sekira sepuluh menit, akhirnya dia datang juga. Dia tampak anggun didalam balutan jilbab hijaunya.

Kami sempat ngobrol sejenak. Tak lupa kami ngobrol tentang guru favorit smp kami yang sekarang pindah ke kota ini. Pak Fayakun namanya. Dia guru Bahasa Inggris dan Matematika favorit kami. Sekarang dia mengajar di SMP 5 kota yang tenang ini. Selain mengajar dan memberi les privat, Mr. Fay juga menjadi penyiar sebuah radio ternama. Madani FM namanya. Setelah membincankan dia, kami segera beranjak dari alun-alun pergi kerumah kontrakanya. Di kontrakan kami tak menemukan beliau. Segera kami beranjak menuju radio Madani Kami lihar beliau sedang dipijit oleh seorang satpam radio. Wajah beliau tak banyak berubah. Mungkin hanya kumisnya saja yang bertambah lebat. Tak tampak kerutan diwajah putih beliau. Sampai disana, Triana memberi teka-teki standar ketika seorang guru lama tak berjumpa dengan muritnya. Menebak nama panggilan. Tak lebih. Pertama dia kasih klu, aku temanya Aries. Aries adalah salah satu warga kelas satu di smpku. Teman sekelasku selama tiga tahun. Tak ada yang tak mengenalnya. Di bahkan dikirim mewakili smpku dalam jambore nasional.

Mr. Fay mulai mendapat kejelasan. Ooo Ariep, Ajib… yang pasti awalanya a kan? Yang kecil bangat dulu kan? Emang dulu aku kecil luar biasa. Hampir sebahu teman-teman sebanyaku. Untung Mr. Fay tak bilang yang kudisan dan bodoh tak ketulungan itu kan?? Hehehe…

Akhirnya beliau menemukan namaku. Diajaknya kami pergi kesebuah kedai fast food. Aku lupa namanya. Aku tak berselera makan malam itu. Aku hanya ingin ngobrol saja. Lain tidak.

Kami ngobrol ngalor-ngidul laiknya teman saja. Beliau adalah mantan guru SMPku. Tapi sekarang sekat-sekat itu serasa hilang saja. Beliau memang gurung yang supel luar biasa. Otaknya encer, cara mengajarnya enak dan pantaslah menjadi guru favorit di setiap otak anak didiknya. Aku salah satunya.

Triana harus istirahat malam ini. Dia capek dan penat kurasa. Makanya kami segera berpisah untuk sebisa mungkin bertemu lagi dilain waktu.

Setelah pak Fay berlalu, kami, aku, Triana dan Iqbal yang setia menemaniku, menemui satu temeku yang tinggal juga di Bojonegoro. Nurul namanya, tapi kami biasa memanggilnya Hezek. Entah apa artinya. Dia sudah beranak pinak disini. Anaknya satu. Umurnya sekira enam bulan. Istrinya juga bernama Nurul, kebetulan yang tak tekira.

Kami hanya bertemu sebentar. Badanku juga tak bisa dibohongi, capek luar biasa. Aku berjanji, esok selepas isyak aku akan kerumahnya.

Akupun berpisah dengan Nurul, Triana dan alun-alun Bojonegoro. Besok pagi aku akan kekosan Triana. Kami akan keliling Tuban. Kota legendaris di utara pulau jawa. Kota tempat Ronggolawe diakui keperkasaanya. Kota Sunan Bonang memulai mengajarkan Islam ditanah jawa.

Sugio dan Waduk Gondang......Nort East Java Journey..2

Sugio dan Waduk Gondang


Paginya aku segera susuri jalan Sugio dengan jalan kaki. Sempat mengambil beberapa gambar. Dan ada yang unik. Sebuah koperasi simpan pinjam syariah. Entah motivasi apa kok ngasih namanya unik gitu. Hehehe…

Setelah berjalan hampir dua kilo Riefky menyusulku menggunakan motor. Aku sempat mengambil beberapa gambar di lapangan Sugio. SMPN 1 nya dan juga pasar. Juga nemu tulisan yang salah di misi dari SMPN 1 Sugio. Masak nulis misinya aja salah. Apalagi pelaksanaanya. Mana nggak diperbaiki lagi. Wah dasar!!

Setelah puas melihat dan menfoto, kami langsung balik ke rumah Riefky. Mandi dan sarapan bareng-bareng. Setalah istirahat dan mengobrol sejenak kami langsung pamit untuk pergi ke Waduk Gondang. Waduk ini tidak terlalu jauh dari rumah Riefky. Sekitar tiga kilometer. Terletak di desa Gondang Kidul kecamatan Sugio. Diresmikan oleh alm. Bapak HM Soeharto pada tahun 1987.

Waduk ini cukup ramai, karena bertepatan dengan hari libur. Kebanyakan mereka datang berpasang-pasangan. Setelah melihat-lihat kami sempat mampir di warung ayu. Warung yang seluruh penjualnya perempuan muda-muda yang akan ikut nimbrung bercakap-cakap akrab dengan pembeli. Rata-rata mereka cukup centil, jadinya hampir seluruh pengunjungnya laki-laki.

Setelah hampir satu jam kami kembali ke Waduk Gondang. Aku pengen naik perahu. Sekedar untuk keliling waduk yang debit airnya terus surut tersebut. Padahal sekarang adalah musim penghujan. Biasalah karena illegal logging.

Kami harus menunggu penumpang lain untuk bisa keliling. Tiketnya cukup murah sih. Cuma dua ribu rupiah saja. Tak lebih. Ketika berkeliling waduk sempat juga melihat orang” sekitar yang mengangkut rumput menggunakan perahu. Sempat pula melihat anak muda pacaran sampai ‘cipokan’ yang kami soraki tapi cuek bebek. Wah anak Lamongan sekarang berani” oey.

Setelah puas dengan Waduk Gondang dan melihat beberapa ‘drama percintaan’kami segera pulang. Sholat dzuhur dan istirahat. Sore hari kami harus balik ke Surabaya lagi. Berpelukan dengan kemacetan dan kesemrawutan kembali. Capek dech…

Hujan turun dengan derasnya siang itu. Kami tunggui sampai reda. Sekitar pukul tiga tigapuluh hujan mulai mereda. Kami langsung cabut ke arah Babat. Untuk mengambil GL Pro tercinta dan si Riefky harus pamitan dengan Elina. Setelah sampai dirumah pak Karim, tempat kami harus berpisah. Aku tak jadi langsung balik ke Surabaya tetapi akan meneruskan perjalanan ke Bojonegoro. Dari pada balik ke Surabaya langsung mending ke Bojonegoro, siapa tahu aku bisa jalan-jalan, ketemu teman-temanku yang ada disana dan juga main-main ke Tuban yang terkenal dengan pantai dan gua Akbarnya.

Minggu, Maret 16, 2008

Lamongan, The City of Soto ...............Nort East Java Journey ...1


Hari sabtu ini adalah hari terakhirku kerja di kantor yang boring bukan main. Rasanya lega banget bisa lepas dari bayang-bayang bos yang membosankan dan menjengkelkan tersebut. Pulang sekitar pukul dua belas siang. Setelah bersantai sambil membaca beberapa buku, datang Riefky dengan pacarnya Elina ke kosan. Kami sempat ngobrol tentang banyak hal. Sekitar jam dua siang mereka memutuskan pulang ke Lamongan. Riefky ke Sugio dan Elina ke Babat. Karena belum pernah kesana aku memutuskan ikut saja. Sekalian biar tahu daerah lain. Aku sudah kayak katak dalam tempurung saja.
Beberapa hari yang lalu ayahku telepon agar aku pergi ke Bojonegoro menengok saudaraku yang abis operasi hernia, turun bero basa kasarnya. Jadi sekalian saja habis dari Babat dan Sugio aku langsung ke Bojonegoro. Masalah di sana entar gimana itu masalah nanti. Yang penting aku bisa jalan” dan menemukan pengalama-pengalaman baru.
Setelah mandi dan sholat Dzuhur kami segera berangkat. Kami susuri jalanan kota Surabaya yang terik, sekitar satu jam kemudian kami sudah sampai di Kota Pudak, Gresik. Sempat berhenti beberapa menit untuk foto di ikon dari Kota ini, PT Semen Gresik. Setelah foto” narsitis tragis dan istirahat, kami segera melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan kami sempat berhenti di daerah sekitar terminal Bunder. Riefky membeli oleh” untuk calon mertuanya. Setelah itu kami segera memacu motor menuju Lamongan. Langit makin mendung, akan turun hujan kurasa.
Kami sempat berhenti di Tugu Perbatasan waktu memasuki kota Lamongan. Untuk sekedar mengambil gambar keperluan dokumentasi dan memenuhi hasrat narsitisku yang meluap-luap. Hehehe…
Tak berapa lama kami sudah memasuki kota. Kami segera beranjak ke alun-alun Lamongan. Sempat beberapa kali foto di pendopo tempat Pak Masfuk, Sang Bupati yang termasyur karena berhasil mengangkat ekonomi Lamongan secara luar biasa berkantor. Setelah selesai, kami segera mencari makanan. Aku memang ingin makan, makanan yang khas Lamongan. Ada Soto dan juga tahu campur. Tapi itu bisa aku temukan di Surabaya.
Akhirnya ada nasi yang hanya dijual di Lamongan. Nasi Boranan namanya. Penjualnya menyimpan nasinya di Boran atau Bakul dalam istilah Lamongan. Mereka menjual di beberapa sudut kota. Dipinggir jalan, lesehan lagi. Ditemani udara mendung Lamongan kami makan nasi Boran. Cukup lezat. Aku bahkan sempat nambah. Hehehe… Dasar kamu aja yang makanya banyak…
Matahari makin berarak ke barat. Kami segera berkejaran dengan waktu. Target kami adalah Babat. Disini Elina tinggal bersama keluarganya. Ditengah jalan kami berhenti di sebuah SPBU. Sekedar untuk buang air kecil dan sholat magrib.
Kami segera melanjutkan perjalanan. Tapi waktu menyalakan motor, tak ada angin tak ada hujab, kick stater motorku patah. Asem tenan. Akhirnya motorku harus dinyalakan dengan cara didorong. Ada kejadian lucu dimana wakrtu Riefky mendorong motorku sampai tersengal-sengal. Kontak belum aku posisikan on. Aku lupa menyalakan.
Aku : senyum” saja dan akhirnya tertawa meledak-ledak.
Riefky : tersengal-sengal dan mengutuk dalam hati.
Elian : tersenyum kecut.
Motorku : tertawa riang melihat penderitaan orang lain.
Aku : Sorry Reif. Hehehe.
Setelah nyala kami segera menuju rumah Elina. Sebenarnya kami nggak pengen berhenti lama-lama. Karena takut entar motorku justru nggak mau nyala. Tapi karena disuruh mampir akhirnya kami mampir juga. Diluar hujan makin menderas saja. Setelah sekitar satu jam ngobrol kami segera beranjak pulang. Kejadian yang tadi terulang kembali. Aku sebagai actor dan kakak Elina sang pendorong motor sampai tersengal-sengal sebagai korbannya. Aku lupa lagi menyalakan on kunci kontaknya. Hehehe… Maap mas.
Aku : tersenyum saja.
Kaka Elina : tersengal-sengal kehabisan napas.
Riefky : Tersenyum pahit melihat calon kakak iparnya disiksa.
Elina : Tertawa terbahak-bahak.
Setelah hidup kami segera kearah Sugio. Rumah Riefky. Karena motornya ada dua, motorku sang biang kerok akan aku titipkan di rumah Pak Kosku. Pak Karim namanya. Kami sempat berhenti di sebuah warung dekat rumahnya. Kami tak tahu letak rumahnya. Sesampai di warung kami telepon anaknya yang juga kuliah di Stesia Surabaya. Ipung namanya. Kami tunggu Ipung diwarung. Dari pada entar kami susah nyarinya. Setelah beberapa saat Ipung akhirnya datang. Kami segera beranjak menuju rumahnya. Karena dekat motor aku tuntun saja. Males nyalainya. Setelah ngobrol beberapa saat dengan pak Karim dan juga istrinya kami segra minta pamit. Melewati daerah Kedungpring yang penuh sawah dan hutan kami akhirnya sampai juga di Sugio. Sekitar jam setengah sepuluh malam. Setelah istirahat, kami keluar rumah. Mengisi perut yang mulai minta diisi kembali. Dasar perut karet. Hehehe…