SETIAP kali ada pergeseran musim, terutama dari musim kemarau ke
musim hujan, mendadak sontak ada kegembiraan yang muncul. Setiap mata
yang dibekali kejernihan, setiap telinga bersahabat dengan kepekaan, setiap rasa yang sering bersahabat dengan getaran-getaran semesta, melihat munculnya kegembiraan ketika musim hujan datang.
Kegembiraan ini memang tidak disertai oleh tepuk tangan, tidak
diikuti suara musik, apalagi pemberian piala. Sekali lagi, hampir tidak ada hiruk pikuk di sana. Yang ada hanyalah ungkapan kegembiraan sebagai cermin rasa syukur yang mendalam.
Perhatikan pohon apa saja. Lengkap dengan akar, batang, daun, bunga sampai dengan buah. Wajahnya berbeda ketika musim hujan datang.
Bahkan dibandingkan dengan pohon yang disiram tangan manusia tiga
kali sehari pun, berbeda penampakannya.
Tidak saja daun dan bunganya yang bertambah banyak, melainkan
kualitas ekspresi daun dan bunganya juga berbeda. Tidak saja akar yang memeluk tanah yang tampak gembira, bahkan tanah tempat banyak sekali hal berasal juga seperti menampakkan wajah-wajah gembira. Sehingga dalam totalitas, ketika musim hujan tiba, seperti ada yang bersuara di taman sana.
Ada yang menyebutnya suara rindu, ada yang mengiranya sebagai
ungkapan rasa syukur, ada yang mengatakan kalau itu sebentuk perayaan.
Entahlah, yang jelas alam yang berumur jauh lebih panjang dari manusia sebenarnya menghadirkan makna jauh lebih banyak dari sekadar alasan keberadaan fisik manusia.
Memang benar, hampir semua input kehidupan manusia datang dari alam. Makanan, minuman, dan bahkan pemikiran manusia pun sebagian berasal atau terinspirasi dari alam. Disinari cahaya-cahaya pemahaman seperti ini, ada sahabat yang berbisik: alam ada lebih dari sekadar alasan phisical survival. Alam juga menjadi petunjuk jalan yang meyakinan ketika manusia hendak pulang.
Tersentak oleh bisikan sahabat kejernihan terakhir, ada sepasang mata yang mencermati, bagian mana dari alam yang bisa menjadi petunjuk
jalan manusia untuk pulang.
Pohonkah, batukah, tanahkah, langitkah, matahari, atau malah
binatang. Karena semuanya memiliki bahasa yang berbeda dengan manusia, tentu saja semuanya tidak bisa memberi jawaban dalam bahasa manusia.
Sebagian lebih dari jejaring semesta bahkan hanya mengenal bahasa hening dan diam tanpa penghakiman. Seperti mau berbisik: hening dan diam tanpa penghakiman itulah jalan-jalan penghantar manusia untuk pulang.
Ikhlas
Sebutlah guru kejernihan yang bernama pohon. Ia tidak pernah berhenti berjalan dengan sebuah bahasa: ikhlas! Hujan datang, musim kering yang panas, tanah yang subur, tanah yang kerontang, bahkan di depan manusia yang mau menghabisi, atau bahkan di depan kematian pun
modalnya sama: ikhlas!
Bunga juga serupa. Begitu tugasnya menebar bau wangi selesai, ia layu kemudian jatuh ke tanah untuk melakukan tugas berikutnya sebagai pupuk.
Air apalagi. Sejauh apa pun jalan yang harus ia tempuh, tugasnya sebagai pejalan kehidupan tetap ia lakukan sepenuh hati. Terlebih tanah yang kerap disebut Ibu Pertiwi. Ia hanya mengenal sebuah bahasa: memberi. Tidak ada protes tentang hasil di sana, wacana, apalagi perlawanan. Yang ada hanyalah ketekunan melakukan semua tugas-tugas kehidupan. Sekali lagi seperti mau berbisik, lakukan tugas-tugas kehidupan dengan tekun. Biarkan hasilnya ditentukan sepenuhnya oleh yang punya hidup.
Taman Kehidupan
Ini soal taman di pekarangan rumah, sebenarnya ada taman yang lebih besar dan megah: kehidupan. Serupa dengan taman sebenarnya, kehidupan juga mengenal perubahan dan perayaan. Perubahannya tidak perlu diceritakan karena sudah terlalu jelas.
Namun perayaannya, inilah bedanya dengan taman. Taman melakukan
perayaan hampir setiap hari di setiap perubahan. Taman kehidupan manusia baru ada perayaan kalau perubahan 'sesuai' dengan kriteria-
kriteria di kepala.
Taman tidak mengenal kompetisi, baik untuk alasan pertumbuhan ataupun alasan lain. Tidak ada satu pun batang pohon yang sikut menyikut di taman. Sedangkan taman kehidupan memerlukan kompetisi. Terutama karena alasan pertumbuhan. Seolah-olah tanpa kompetisi pasti tidak ada pertumbuhan.
Belajar dari taman kehidupan yang sudah mulai demikian panas dan
sumpeknya oleh perang, konflik, permusuhan, dan perceraian. Ada sahabat-sahabat di pojokan tertentu taman kehidupan berfikir lain: in
the garden of mystics, there is no I, she or he. There is only we and
us. Seeing our selves as islands is the cause of our inability to
find the fullest experience of life. Setidaknya itu yang ditulis
Wayne W. Dyer dalam Wisdom of The Ages.
Di taman kehidupan, memang tidak ada pulau. Yang ada hanyalah
jejaring kebersatuan yang saling kait-mengait. Siapa saja yang mendirikan pulau 'saya' di sana, ia pasti mengalami kesulitan untuk
mengalami hidup yang penuh. Persis seperti setetes air. Setetes air
memang bisa melakukan hal yang teramat sedikit. Jangankan menghanyutkan sesuatu, mengobati rasa haus pun jauh dari cukup. Cuma, ketika setetes air tadi bersatu dengan samudera, ia memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Hal yang sama terjadi dalam setiap kehidupan yang menjadi satu dengan kebersatuan. Ia sedahsyat samudera! Dalam keadaan demikian, bisa dimaklumi kalau ada yang menyebut taman kehidupan dengan sebutan taman tempat memendam rindu. Rindunya setetes air bersatu dengan samudera.
Disarikan dari tulisan Gede Prama
musim hujan, mendadak sontak ada kegembiraan yang muncul. Setiap mata
yang dibekali kejernihan, setiap telinga bersahabat dengan kepekaan, setiap rasa yang sering bersahabat dengan getaran-getaran semesta, melihat munculnya kegembiraan ketika musim hujan datang.
Kegembiraan ini memang tidak disertai oleh tepuk tangan, tidak
diikuti suara musik, apalagi pemberian piala. Sekali lagi, hampir tidak ada hiruk pikuk di sana. Yang ada hanyalah ungkapan kegembiraan sebagai cermin rasa syukur yang mendalam.
Perhatikan pohon apa saja. Lengkap dengan akar, batang, daun, bunga sampai dengan buah. Wajahnya berbeda ketika musim hujan datang.
Bahkan dibandingkan dengan pohon yang disiram tangan manusia tiga
kali sehari pun, berbeda penampakannya.
Tidak saja daun dan bunganya yang bertambah banyak, melainkan
kualitas ekspresi daun dan bunganya juga berbeda. Tidak saja akar yang memeluk tanah yang tampak gembira, bahkan tanah tempat banyak sekali hal berasal juga seperti menampakkan wajah-wajah gembira. Sehingga dalam totalitas, ketika musim hujan tiba, seperti ada yang bersuara di taman sana.
Ada yang menyebutnya suara rindu, ada yang mengiranya sebagai
ungkapan rasa syukur, ada yang mengatakan kalau itu sebentuk perayaan.
Entahlah, yang jelas alam yang berumur jauh lebih panjang dari manusia sebenarnya menghadirkan makna jauh lebih banyak dari sekadar alasan keberadaan fisik manusia.
Memang benar, hampir semua input kehidupan manusia datang dari alam. Makanan, minuman, dan bahkan pemikiran manusia pun sebagian berasal atau terinspirasi dari alam. Disinari cahaya-cahaya pemahaman seperti ini, ada sahabat yang berbisik: alam ada lebih dari sekadar alasan phisical survival. Alam juga menjadi petunjuk jalan yang meyakinan ketika manusia hendak pulang.
Tersentak oleh bisikan sahabat kejernihan terakhir, ada sepasang mata yang mencermati, bagian mana dari alam yang bisa menjadi petunjuk
jalan manusia untuk pulang.
Pohonkah, batukah, tanahkah, langitkah, matahari, atau malah
binatang. Karena semuanya memiliki bahasa yang berbeda dengan manusia, tentu saja semuanya tidak bisa memberi jawaban dalam bahasa manusia.
Sebagian lebih dari jejaring semesta bahkan hanya mengenal bahasa hening dan diam tanpa penghakiman. Seperti mau berbisik: hening dan diam tanpa penghakiman itulah jalan-jalan penghantar manusia untuk pulang.
Ikhlas
Sebutlah guru kejernihan yang bernama pohon. Ia tidak pernah berhenti berjalan dengan sebuah bahasa: ikhlas! Hujan datang, musim kering yang panas, tanah yang subur, tanah yang kerontang, bahkan di depan manusia yang mau menghabisi, atau bahkan di depan kematian pun
modalnya sama: ikhlas!
Bunga juga serupa. Begitu tugasnya menebar bau wangi selesai, ia layu kemudian jatuh ke tanah untuk melakukan tugas berikutnya sebagai pupuk.
Air apalagi. Sejauh apa pun jalan yang harus ia tempuh, tugasnya sebagai pejalan kehidupan tetap ia lakukan sepenuh hati. Terlebih tanah yang kerap disebut Ibu Pertiwi. Ia hanya mengenal sebuah bahasa: memberi. Tidak ada protes tentang hasil di sana, wacana, apalagi perlawanan. Yang ada hanyalah ketekunan melakukan semua tugas-tugas kehidupan. Sekali lagi seperti mau berbisik, lakukan tugas-tugas kehidupan dengan tekun. Biarkan hasilnya ditentukan sepenuhnya oleh yang punya hidup.
Taman Kehidupan
Ini soal taman di pekarangan rumah, sebenarnya ada taman yang lebih besar dan megah: kehidupan. Serupa dengan taman sebenarnya, kehidupan juga mengenal perubahan dan perayaan. Perubahannya tidak perlu diceritakan karena sudah terlalu jelas.
Namun perayaannya, inilah bedanya dengan taman. Taman melakukan
perayaan hampir setiap hari di setiap perubahan. Taman kehidupan manusia baru ada perayaan kalau perubahan 'sesuai' dengan kriteria-
kriteria di kepala.
Taman tidak mengenal kompetisi, baik untuk alasan pertumbuhan ataupun alasan lain. Tidak ada satu pun batang pohon yang sikut menyikut di taman. Sedangkan taman kehidupan memerlukan kompetisi. Terutama karena alasan pertumbuhan. Seolah-olah tanpa kompetisi pasti tidak ada pertumbuhan.
Belajar dari taman kehidupan yang sudah mulai demikian panas dan
sumpeknya oleh perang, konflik, permusuhan, dan perceraian. Ada sahabat-sahabat di pojokan tertentu taman kehidupan berfikir lain: in
the garden of mystics, there is no I, she or he. There is only we and
us. Seeing our selves as islands is the cause of our inability to
find the fullest experience of life. Setidaknya itu yang ditulis
Wayne W. Dyer dalam Wisdom of The Ages.
Di taman kehidupan, memang tidak ada pulau. Yang ada hanyalah
jejaring kebersatuan yang saling kait-mengait. Siapa saja yang mendirikan pulau 'saya' di sana, ia pasti mengalami kesulitan untuk
mengalami hidup yang penuh. Persis seperti setetes air. Setetes air
memang bisa melakukan hal yang teramat sedikit. Jangankan menghanyutkan sesuatu, mengobati rasa haus pun jauh dari cukup. Cuma, ketika setetes air tadi bersatu dengan samudera, ia memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Hal yang sama terjadi dalam setiap kehidupan yang menjadi satu dengan kebersatuan. Ia sedahsyat samudera! Dalam keadaan demikian, bisa dimaklumi kalau ada yang menyebut taman kehidupan dengan sebutan taman tempat memendam rindu. Rindunya setetes air bersatu dengan samudera.
Disarikan dari tulisan Gede Prama

Dapet sih, tapi omprengan ngetem dulu(ini juga buang-buang waktu!!). Nunggu penumpang yang lain katanya. Penumpang yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Setelah kami desak, akhirnya pak sopirnya mau juga. Kami langsung diantarnya ke Pesanggrahan. Titik awal pendakian.
Monyetpun tiada. Padahal sekitar sepuluh tahun yang lalu di kawasan pesanggrahan sering sekali aku temui kawanan monyet.
Dulu tempat ini adalah kawasan orang-orang bermadu kasih(baca:pacaran), dan aku salah satunya. Hehehe… Setelah puas beristirahat kami segera melanjutkan perjalanan.
Tinggal makan aja. Lewat penduduk setempat. “Dik di bawah itu ada kakus.” Anjrittt, sapi perah!!!! Dia nyuruh kami pindah ketempat yang lebih layak. Pantesan dari tadi baunya kok nggak enak gitu, Kampret!!. Udah terlanjur basah. Dibawah bayang-bayang bau dan isi kakus, makanan kami sikat habis. Bahkan daun pisang yang jadi alasnyapun hampir kami sikat jua.
Baru sepuluh langkah istirahat, lima langkah istirahat, begitu seterusnya. Akhirnya sampai juga dipersimpangan jalur. Tempat landai, yang biasa kami sebut pos satu. Sekira pukul 13. 45. Kami istirahat lima menit. Kami saling tertawa. Melihat teman-teman kelelahan dalam kebersamaan, membuat kami semangat kembali.
Sekitar lima menit kami istirahat. Disitu kami sempatkan bercanda. Terutama untuk memompa semangat teman-teman yang mulai meluntur, mengikuti fisik yang makin melemah. Tetapi melihat hijaunya hutan, membuat semangat kami bangkit lagi.
Menyusuri ilalang yang lebih tinggi dari tubuh kami. Badan beret terkena ilalang, beban menggantung dipundak, peluh membasah, tak mematahkan asa kami.
Tubuh makin lelah, jalan makin menanjak, memaksa kami untuk sering istirahat. Kami sampai di pos tiga, tempat landai terakhir sebelum puncak, pukul 15.05. Jarak pos tiga dan puncak cukup dekat. Tapi karena badan yang makin kelelahan, jadi terasa sangat lama.
Angka di hp menunjuk 15.30. Kami langsung rebahan kelelahan. Kami sampai puncak secara bersamaan. Delapan orang sekaligus, tanpa ada yang kececer satupun. Dan rasa lelah itu terbayar sudah. Thanks God!!!