Dulu aku selalu berfikir hidupku bagai bola salju yang meluncur dari atas bukit. Pertama dia adalah sesuatu yang kecil. Setelah sekian lama menggelinding, dia akan membesar. Dan terus membesar. Dia akan menerjang segala rintangan yang ada. Dan akan berhenti di laut dengan ukuran yang besar.
Serupa dengan itu. Aku harus menerjang rintangan yang berat. Dengan keringat dan seringkali darah. Ketika aku harus berhadapan dengan tembok tebal, aku masih menghatamkan ‘diriku’ kepadanya. Sampai aku hancur berkeping-keping. Sampai aku tak kuasa menahannya. Tapi aku terus berusaha menghantamnya. Serupa ketika aku sampai dilembahan. Ketika momentumku habis, aku terus berusaha untuk naik menuju punggung bukit. Tapi aku tak bisa menggapainya. Aku tak kuasa. Adakah yang salah dari cara pandang itu?
Aku terus berfikir. Aku terus merenung. Memang apa yang salah dari cara pandang tersebut? Karena terbebani dengan keharusan untuk menuju laut secepatnya aku terus menghatam. Dan seringkali dengan menbabi buta. Itu berimplikasi langsung pada hidupku. ‘Aku’ sering terbebani oleh banyak hal. Impian-impian yang harus aku raih. Jalan yang sudah aku ‘buat’ yang harus kutempuh. Terjangan yang harus aku lakukan, tanpa melihat seberapa kekuatanku. Aku sering menipu diriku dengan mengatakan aku mampu. Meskipun itu membutuhkan waktu, tapi aku terus menerjang.
Seringkali, yang terpenting rintangan itu hancur. Meskipun kehancuranya akan berimbas kepada kehidupan orang lain. Sering kali aku terlalu ngoyo hingga kehabisan tenaga ditengah jalan. Sering kali aku menyalahkan keadaan, tanpa melihat diriku terlebih dahulu. Dan semua bermula dari ‘aku’ tersebut.
Disuatu titik aku menemukan sesuatu yang lain disana. Dari atas bukit aku lihat aliran sungai mengalir dengan derasnya menuju lautan. Bukankah asal dan tujuannya sama. Air disungai berasal dari gunung dan tujuanya adalah laut. Serupa ‘bola salju’. Berasal dari bukit dan menuju laut. Tapi kenapa ‘air’ seperti tanpa rintangan mengalir dengan derasnya. Setelah aku perhatikan dengan seksama, air bukanya tanpa rintangan. Ada banyak rintangan bahkan. Tapi mereka berkelok dengan anggun ketika menghadapi rintangan yang tak mungkin diterjang. Ketika mereka menghadapi batu yang kecil, mereka akan menggerusnya, sampai hilang. Disepanjang alirannya tumbuh subur semua tanaman. Bahkan hewan-hewan pun menggunakanya sebagai sumber kehidupan. Sesuatu yang indah. Dari yang mata air yang kecil. Menajadi muara yang besar. dengan menghadirkan kehidupan bagi yang dilewati.
Dan begitupun seharusnya ‘aku’. Ketika menghadapi rintangan yang luarbiasa, aku harus mencari celah. Celah yang memungkinkan aku melewati tintangan itu. Tanpa perlu bersusah payah menghancurkanya. Tanpa harus merusak yang lain. Tanpa harus menyalahkan yang lain.
Menjadi manusia yang fleksibel. Itulah ‘aku’ yang aku harapkan sekarang. Bukan orang yang kuat, tapi orang yang selalu tanggap dan mudah menghadapi perubahan. Orang yang terus menggeliat mengikuti roda kehidupan. Minimal tidak terdindas olehnya. Tidak terbebani jika sesuatu yang kita targetkan tak tercapai. Mungkin harus dengan jalan lain, dengan mencoba kembali, atau mencoba dengan cara lain. Ataupun ketika ada ‘sesuatu’ yang hilang atau ‘diambil’ oleh Nya. Akupun tak akan stress berkelanjutan. Bahkan mungkin bisa lebih bahagia, karena tanggungan itu akan mengurangi beban pikiranku.
Ketika menuju kesana pun aku harus bermanfaat bagi orang lain. Seringkali aku hanya memikirkan kepentinganku. Meskipun itu ‘merusak’ untuk orang lain. Dan itu terus berulang. Maafkan jika mungkin aku pernah ‘merusak’ kalian.
Sekarang aku mulai menuju kesana. Dengan begitu ‘aku’ lebih besyukur dengan apa yang ku peroleh. Tak ngoyo tetapi selalu berupaya.
Serupa dengan setengah gelas air. Sekarang aku melihatnya sebagai gelas setengah isi. Bukan gelas yang setengah kosong. Aku nikmati air yang setengah itu dengan nikmat. Senikmat-nikmatnya.
Aku harap itu terus terjadi. Ketika apapun ‘datang’ dan ‘pergi’ aku tetap merasa kenikmatan. Tanpa ‘nikmat’ dan ‘sakit’ yang berlebih. Semoga.
Serupa dengan itu. Aku harus menerjang rintangan yang berat. Dengan keringat dan seringkali darah. Ketika aku harus berhadapan dengan tembok tebal, aku masih menghatamkan ‘diriku’ kepadanya. Sampai aku hancur berkeping-keping. Sampai aku tak kuasa menahannya. Tapi aku terus berusaha menghantamnya. Serupa ketika aku sampai dilembahan. Ketika momentumku habis, aku terus berusaha untuk naik menuju punggung bukit. Tapi aku tak bisa menggapainya. Aku tak kuasa. Adakah yang salah dari cara pandang itu?
Aku terus berfikir. Aku terus merenung. Memang apa yang salah dari cara pandang tersebut? Karena terbebani dengan keharusan untuk menuju laut secepatnya aku terus menghatam. Dan seringkali dengan menbabi buta. Itu berimplikasi langsung pada hidupku. ‘Aku’ sering terbebani oleh banyak hal. Impian-impian yang harus aku raih. Jalan yang sudah aku ‘buat’ yang harus kutempuh. Terjangan yang harus aku lakukan, tanpa melihat seberapa kekuatanku. Aku sering menipu diriku dengan mengatakan aku mampu. Meskipun itu membutuhkan waktu, tapi aku terus menerjang.
Seringkali, yang terpenting rintangan itu hancur. Meskipun kehancuranya akan berimbas kepada kehidupan orang lain. Sering kali aku terlalu ngoyo hingga kehabisan tenaga ditengah jalan. Sering kali aku menyalahkan keadaan, tanpa melihat diriku terlebih dahulu. Dan semua bermula dari ‘aku’ tersebut.
Disuatu titik aku menemukan sesuatu yang lain disana. Dari atas bukit aku lihat aliran sungai mengalir dengan derasnya menuju lautan. Bukankah asal dan tujuannya sama. Air disungai berasal dari gunung dan tujuanya adalah laut. Serupa ‘bola salju’. Berasal dari bukit dan menuju laut. Tapi kenapa ‘air’ seperti tanpa rintangan mengalir dengan derasnya. Setelah aku perhatikan dengan seksama, air bukanya tanpa rintangan. Ada banyak rintangan bahkan. Tapi mereka berkelok dengan anggun ketika menghadapi rintangan yang tak mungkin diterjang. Ketika mereka menghadapi batu yang kecil, mereka akan menggerusnya, sampai hilang. Disepanjang alirannya tumbuh subur semua tanaman. Bahkan hewan-hewan pun menggunakanya sebagai sumber kehidupan. Sesuatu yang indah. Dari yang mata air yang kecil. Menajadi muara yang besar. dengan menghadirkan kehidupan bagi yang dilewati.
Dan begitupun seharusnya ‘aku’. Ketika menghadapi rintangan yang luarbiasa, aku harus mencari celah. Celah yang memungkinkan aku melewati tintangan itu. Tanpa perlu bersusah payah menghancurkanya. Tanpa harus merusak yang lain. Tanpa harus menyalahkan yang lain.
Menjadi manusia yang fleksibel. Itulah ‘aku’ yang aku harapkan sekarang. Bukan orang yang kuat, tapi orang yang selalu tanggap dan mudah menghadapi perubahan. Orang yang terus menggeliat mengikuti roda kehidupan. Minimal tidak terdindas olehnya. Tidak terbebani jika sesuatu yang kita targetkan tak tercapai. Mungkin harus dengan jalan lain, dengan mencoba kembali, atau mencoba dengan cara lain. Ataupun ketika ada ‘sesuatu’ yang hilang atau ‘diambil’ oleh Nya. Akupun tak akan stress berkelanjutan. Bahkan mungkin bisa lebih bahagia, karena tanggungan itu akan mengurangi beban pikiranku.
Ketika menuju kesana pun aku harus bermanfaat bagi orang lain. Seringkali aku hanya memikirkan kepentinganku. Meskipun itu ‘merusak’ untuk orang lain. Dan itu terus berulang. Maafkan jika mungkin aku pernah ‘merusak’ kalian.
Sekarang aku mulai menuju kesana. Dengan begitu ‘aku’ lebih besyukur dengan apa yang ku peroleh. Tak ngoyo tetapi selalu berupaya.
Serupa dengan setengah gelas air. Sekarang aku melihatnya sebagai gelas setengah isi. Bukan gelas yang setengah kosong. Aku nikmati air yang setengah itu dengan nikmat. Senikmat-nikmatnya.
Aku harap itu terus terjadi. Ketika apapun ‘datang’ dan ‘pergi’ aku tetap merasa kenikmatan. Tanpa ‘nikmat’ dan ‘sakit’ yang berlebih. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar