Air Terjun Dlundung dan Penatnya Kehidupan.
Anak-anak InLAC mulai keluar dari tendanya masing-masing. Jam di hapeku nunjukin 06.08. Cahyopun baru keluar dari tenda yang dia tumpangi. Sambil meminum kopi aku nikmati udara pagi yang segar ini. Polusi dan panas udara Surabaya telah membuatku merindukan hal ini dengan sangat. Seringkali karena tuntutan hidup kita akan berkorban dan mengorbankan apapun.
Kadang akui piker kenapa kita tebangi hutan yang sangat berguna buat kita. Tuntutan kebutuhan ekonomi selalu jadi alasan. Meski menurutku itu sebuah keserakahan bukan kebutuhan. Seharusnya kita bisa menghadirkan udara segar seperti ini di kota. Jika kita lebih bijak terhadap alam tentunya.
Pagi ini akan diadakan outbond mengelilingi daerah sekitar air terjun. Akupun didapuk sebagai volunteer bersama beberap InLACru. Ada tiga pos yang harus dilewati peserta. Aku mendapat tugas jaga dipos satu.
Para InLACer dibagi menjadi dua kelompok. Untuk memudahkan pengawasan tentunya. Peserta diminta meleweti semua pos yang ada. Dan disetiap pos, setiap regu akan diminta untuk menjawab pertanyaan. Ketepatan jawaban, ketepatan waktu dan kekompakan tim yang akan dinilai.
Gerimis mendatangi lereng Welirang. Hal itu tak menyurutkan semangat InLACru dan InLACres. Acara yang dimulai jam 7.30 selesai jam 9.30.
Setelah semua selesai, kami segera berkumpul kembali di camp. Setelah musyarawarah untuk menentukan jam pulang kami segera berangkat ke air terjun Dlundung. Tidak terlalu istimewa. Tapi lebih dari cukup untuk mengurangi penat pikiran. Beberapa InLACer mandi dan berfoto di air terjun. Aku hanya melihat dari pinggir. Sembari melihat orang yang terus berdatangan. Hampir semuanya berpasangan. Jadi iri oey. Tapi tak mengapa, kan udah biasa ngejomblo. Hehehehe…
Setelah puas memandangi air terjun yang tak berubah-ubah(emang mau berubah gimana lagi) aku segara beranjak menuju camp. Jarak antar camp dan air terjun sekitar lima ratus meter. Selepas tangga aku dan Cahyo sempat mampir di warung bakso. Sekedar untuk mengisi perut yang sedari tadi cuma terisi kopi dan roti.
Selesai makan aku segera beranjak ke camp. Rombongan akan balik jam setengah dua. Karena kami pengen balik sekitar jam dua belasan, terpaksa kami nggak bisa pulang bareng. Kami segera pamit dan beranjak pulang. Segera kupacu motor menelan aspal-aspal lereng Welirang.
Di kanan-kiri aku lihat banyak sekali anak-anak manusia sedang asyik memadu asmara. Memori itu mengingatkanku pada masa-masa SMA. Masa hidup yang paling indah. Hampir tanpa beban hidup. Yang melingkupi hanya kesenangan yang bersambung tiada habis. Sesampai di jembatan kali Porong daerah Mojosari aku berhenti sejenak. Jembatan itu sedang dibangun. Ditambah satu lagi. Sebagai jalan alternatif dari arah timur Jawa ke arah barat tanpa melewati Lumpur Panas Lapindo. Selain memberi efek negatif, ternyata Lumpur juga memberi efek positif, walau hanya sebagian. Mojosari salah satunya.
Selepas Pabrik Tebu Tulangan kami berbelok mengikuti alur sungai sudetan Kali Porong. Air mengalir dengan jernih. Tembok” tebal yang menyikupi sungai berdiri kokoh tanpa retak. Untuk masalah pengairan Bangsa Belanda Memang luar biasa. Salut.
Jalannya sempit dan banyak sekali polisi tidur. Tapi lumayan sepi. Eh keluar-keluar udah deket pasar Larangan Sidoarjo. Lumayan menghibur ditengah badan yang mulai memenat.
Aku segera memacu motor di atas jalan aspal Sidoarjo-Surabaya. Siang itu terasa begitu terik. Badanku masih adaptasi. Dari tempat dingin ke tempat panas. Sesuatu yang menyiksa tentunya. Badanku yang mulai didera kantuk dan lelah mulai sulit diajak kompromi. Cahyo yang aku bonceng, berkali-kali tidur. Hal itu seringkali membuyarkan konsentrasiku terhadap jalan. Terpaksa aku jalan lebih pelan. Jam satu lima belas akhirnya sampai juga aku dirumah Cahyo. Dia langsung tertidur begitu sampai dirumah. Sedang aku yang minta diantakanya ke kosan terpaksa menunggu dia bangun. Sembari menunggu aku minta ijin untuk mandi. Badaku yang sedari kemarin tak tersentuh sabun minta untuk diperhatikan. Selesai mandi akupun menyusul Cahyo tidur. Badanku tak bisa dibohongi. Jam setengah lima aku bangun. Karena Cahyo sibuk dengan pacarnya, terpaksa aku diantakan adiknya menuju kosan. Tak terasa badanku masih ingin tidur kembali. Kurebahkan sejenak di kasur butut kamarku.
Aku bermimpi alangkah indahnya jika kita bisa menghadikan kesejukan itu di kota ini. Mall-mall yang terus bertebaran tanpa menyisakan ruang terbuka publik, seakan menyesakkan jiwa. Seringkali kita harus berjuang jauh untuk mendapatkan sesuatu bernama udara segar. Sesuatu yang terasa mewah bagi kita tapi tidak untuk mereka penghuni lereng Welirang. Terima kasih Welirang, suatu saat aku akan kembali. Dengan ijin Tuhan tentunya. Entah kapan!
Anak-anak InLAC mulai keluar dari tendanya masing-masing. Jam di hapeku nunjukin 06.08. Cahyopun baru keluar dari tenda yang dia tumpangi. Sambil meminum kopi aku nikmati udara pagi yang segar ini. Polusi dan panas udara Surabaya telah membuatku merindukan hal ini dengan sangat. Seringkali karena tuntutan hidup kita akan berkorban dan mengorbankan apapun.
Kadang akui piker kenapa kita tebangi hutan yang sangat berguna buat kita. Tuntutan kebutuhan ekonomi selalu jadi alasan. Meski menurutku itu sebuah keserakahan bukan kebutuhan. Seharusnya kita bisa menghadirkan udara segar seperti ini di kota. Jika kita lebih bijak terhadap alam tentunya.
Pagi ini akan diadakan outbond mengelilingi daerah sekitar air terjun. Akupun didapuk sebagai volunteer bersama beberap InLACru. Ada tiga pos yang harus dilewati peserta. Aku mendapat tugas jaga dipos satu.
Para InLACer dibagi menjadi dua kelompok. Untuk memudahkan pengawasan tentunya. Peserta diminta meleweti semua pos yang ada. Dan disetiap pos, setiap regu akan diminta untuk menjawab pertanyaan. Ketepatan jawaban, ketepatan waktu dan kekompakan tim yang akan dinilai.
Gerimis mendatangi lereng Welirang. Hal itu tak menyurutkan semangat InLACru dan InLACres. Acara yang dimulai jam 7.30 selesai jam 9.30.
Setelah semua selesai, kami segera berkumpul kembali di camp. Setelah musyarawarah untuk menentukan jam pulang kami segera berangkat ke air terjun Dlundung. Tidak terlalu istimewa. Tapi lebih dari cukup untuk mengurangi penat pikiran. Beberapa InLACer mandi dan berfoto di air terjun. Aku hanya melihat dari pinggir. Sembari melihat orang yang terus berdatangan. Hampir semuanya berpasangan. Jadi iri oey. Tapi tak mengapa, kan udah biasa ngejomblo. Hehehehe…
Setelah puas memandangi air terjun yang tak berubah-ubah(emang mau berubah gimana lagi) aku segara beranjak menuju camp. Jarak antar camp dan air terjun sekitar lima ratus meter. Selepas tangga aku dan Cahyo sempat mampir di warung bakso. Sekedar untuk mengisi perut yang sedari tadi cuma terisi kopi dan roti.
Selesai makan aku segera beranjak ke camp. Rombongan akan balik jam setengah dua. Karena kami pengen balik sekitar jam dua belasan, terpaksa kami nggak bisa pulang bareng. Kami segera pamit dan beranjak pulang. Segera kupacu motor menelan aspal-aspal lereng Welirang.
Di kanan-kiri aku lihat banyak sekali anak-anak manusia sedang asyik memadu asmara. Memori itu mengingatkanku pada masa-masa SMA. Masa hidup yang paling indah. Hampir tanpa beban hidup. Yang melingkupi hanya kesenangan yang bersambung tiada habis. Sesampai di jembatan kali Porong daerah Mojosari aku berhenti sejenak. Jembatan itu sedang dibangun. Ditambah satu lagi. Sebagai jalan alternatif dari arah timur Jawa ke arah barat tanpa melewati Lumpur Panas Lapindo. Selain memberi efek negatif, ternyata Lumpur juga memberi efek positif, walau hanya sebagian. Mojosari salah satunya.
Selepas Pabrik Tebu Tulangan kami berbelok mengikuti alur sungai sudetan Kali Porong. Air mengalir dengan jernih. Tembok” tebal yang menyikupi sungai berdiri kokoh tanpa retak. Untuk masalah pengairan Bangsa Belanda Memang luar biasa. Salut.
Jalannya sempit dan banyak sekali polisi tidur. Tapi lumayan sepi. Eh keluar-keluar udah deket pasar Larangan Sidoarjo. Lumayan menghibur ditengah badan yang mulai memenat.
Aku segera memacu motor di atas jalan aspal Sidoarjo-Surabaya. Siang itu terasa begitu terik. Badanku masih adaptasi. Dari tempat dingin ke tempat panas. Sesuatu yang menyiksa tentunya. Badanku yang mulai didera kantuk dan lelah mulai sulit diajak kompromi. Cahyo yang aku bonceng, berkali-kali tidur. Hal itu seringkali membuyarkan konsentrasiku terhadap jalan. Terpaksa aku jalan lebih pelan. Jam satu lima belas akhirnya sampai juga aku dirumah Cahyo. Dia langsung tertidur begitu sampai dirumah. Sedang aku yang minta diantakanya ke kosan terpaksa menunggu dia bangun. Sembari menunggu aku minta ijin untuk mandi. Badaku yang sedari kemarin tak tersentuh sabun minta untuk diperhatikan. Selesai mandi akupun menyusul Cahyo tidur. Badanku tak bisa dibohongi. Jam setengah lima aku bangun. Karena Cahyo sibuk dengan pacarnya, terpaksa aku diantakan adiknya menuju kosan. Tak terasa badanku masih ingin tidur kembali. Kurebahkan sejenak di kasur butut kamarku.
Aku bermimpi alangkah indahnya jika kita bisa menghadikan kesejukan itu di kota ini. Mall-mall yang terus bertebaran tanpa menyisakan ruang terbuka publik, seakan menyesakkan jiwa. Seringkali kita harus berjuang jauh untuk mendapatkan sesuatu bernama udara segar. Sesuatu yang terasa mewah bagi kita tapi tidak untuk mereka penghuni lereng Welirang. Terima kasih Welirang, suatu saat aku akan kembali. Dengan ijin Tuhan tentunya. Entah kapan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar